BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Hadis Rasulullah SAW
adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran Islam, dan salah
satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Hadis Rasulullah SAW jika dilihat dari sisi kodifikasinya, maka
ia telah dibukukan sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi
masih
bersifat personal, adapun
kodifikasi hadis yang bersifat umum
dan
resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa Tabi‟in, tepatnya pada
masa Khalifah Umar
bin
Abdil Aziz.
Banyak opini yang menyebar di kalangan sebagian publik akademis bahwa hadis nabi selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang ditransfer dari masa
ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan sebagian Ulama Hadis yang
menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi hadis
adalah Ibnu Shihab al-Zuhri
(w.124 H) setelah mendapat perintah dari Khalifah Umar
bin Abdil Aziz.
Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang
masa Khatib
al-
Baghdadi yang
telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang
ada,
sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadis Rasulullah SAW telah dibukukan sejak zaman pertama hijriyah. Penelitian tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Taqyid
al-Ilmi”.
Pada masa
Rasulullah SAW hadis
nabi
telah ditulis,
banyak fakta dan
data
yang membuktikannya yang dapat kita rujuk dari berbagai catatan sejarah. Kemudian datang generasi tabi’in. Pada
masa ini hadis dikodifikasikan secara resmi
atas perintah Khalifah
Umar
bin Abdil Aziz.
Kemudian datang
generasi Tabi’ut Tabi’in. Pada masa ini muncullah
mushannafat yang
ditulis oleh para ulama
zaman
tersebut, seperti kitab Muwatth, Sunan,
Musannaf, Jami’ dan kitab-kitab Ajza’.
Pada periode berikutnya, yaitu periode Tabi’ul Athba’ sekitar abad ke III H, pada
periode ini kitab-kitab
hadis
dibukukan
dengan memiliki
corak yang berbeda dengan periode sebelumnya, diantaranya adalah kitab-kitab Jawami’ seperti al-Jami’
al Shahih
karya Imam Bukhari dan al Jami’ karya Imam al-Tirmizi,
dan
lain sebagainya.Dari sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadis di atas dapat diketahui posisi Shahih al-Bukhari. Kitab ini termasuk kitab yang ditulis
pada abad
ke-3 H.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah
Biografi Imam Bukhari?
2.
Bagaimanakah
Metodologi Imam Bukhari dalam Kritik Hadits?
3.
Bagaimanakah
Kitab Sahih Bukhari?
C.
Tujuan Pembelajaran.
1.
Memahami
Biografi Imam Bukhari.
2.
Memahami
Metodologi Imamm Bukhari dalam Kritik Hadits.
3.
Emahami
Kitb Shahi Bukhari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Imam Bukhari.
a.
Nasabnya.
Nama lengkapnya
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Bardizah Al-Ju’fi. Ayahnya, Syaikh
Ismail terkenal dengan panggilan Abu Hasan adalah seorang ulama hadits yang
masyhur di Bukhara yang pernah menjadi murid Imam Malik- Imam Darul Hijrah- ia
juga salah satu sahabat dari Hammad bin Ziyad dan Ibnu Mubarak, tabi’in masyhur
dan diterima riwayatnya dikalang ulama hadits. Melihat pertemanan ayahnya ini,
kita bisa melihat bahwa al-Bukhari dibesarkan dalam sebuah lingkungan keluarga
yang relijius dan dipenuhi semangat keilmuan. Imam Ibnu Hibban mencantumkan
biografi Syaikh Imam Ismail dalam kitab Al-Tsiqat.[1]
b.
Kelahirannya dan Pertumbuhannya.
Beliau adalah Imam,
Syaikhul Islam, al Hafizh,
Amirul Mukminin dalam
hadis.
Beliau lahir
pada
hari jum’at tanggal 13 setelah salat jum’at[2] bulan
Syawwal tahun
194 H. Selain ayahnya dikenal
sebagai orang yang berilmu beliau juga dikenal sebagai ahli wara (menghindarkan
diri dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal maupun haramnya),
dan menjaga ketakwaan. Dikisahkan sebelum ajal menjemputnya, ia pernah
mengatakan bahwa dalam harta yang dimilikinya tidak sedikitpun yang berbau
syubhat apalagi haram.
Tapi sayangnya,
ayahnya meninggal sewaktu Al-Bukahari belum beranjak dewasa. Al-Bukhari dan
adiknya termasuk beruntung karena ayahnya meninggalkan harta warisan yang cukup
untuk kehidupan selanjtnya. Ibundanyalah yang akhirnya bertanggungjawab sebagai
kepala keluarga. Tentang ibunya, Ibnu Hajar mengatakan ibunda Imam al-bukhari
adalah seorang ahli ibadah (afeksionis) yang tekun hingga sebagian besar
riwayatnya menjelaskan banyak terdapat karamah atau kelebihan-kelebihan
yang diberikan Allah.[3]
c.
Kecerdasan dan Perhatian Imam-al-Bukhari pada Hadits.
Imam al-Bukahri
mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika ia berusia sekitar sepuluh
tahun. ketika itu ia berada di kuttab.[4] Kemudian ia
keluar dari kuttab karena berselisih pendapat dengan al-Dakhili dan
lainnya. Memasuki usia 16 tahun, Imam
al-Bukhari telah menghafal kitab-kitab karya Ibnu Mubarak dan Waki’ dan telah
memahami pendapat-pendapt ahli ra’yi (rasionalis). Memasuki usia 18 tahun beliau mengarang kitab
Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi’in kemudian ia mengarang kitab al-Tarikh
di kota Madinah disisi makam Rasulullah SAW.
Kekuatan daya
hafal Imam al-Bukhari bukan hanya berdasarkan pengakuan dirinya sendiri, akan
tetapi berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh ulama-ulama Hadis untuk
membuktikan kekuatan hafalan dan kecerdasannya. Imam Bukhari berkata: “saya
hafal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits sahih dan 200.00 hadits yang
tidak sahih”.[5]
Suatu ketika Imam Bukhâri datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar
kedatangannya dan
ingin menguji kekuatan
hafalannya.
Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits
yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya,
matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian 100 hadits
ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas
menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan,
maka
Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama,
“Aku
tidak mengetahuinya.”
Setelah sepuluh orang
ini selesai, maka gantian Bukhari yang
berkata kepada 10 orang
tersebut satu persatu, “Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun
hadits yang benar adalah
demikian.” Hal itu beliau
lakukan kepada sepuluh orang tersebut.
Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan
kepada tempatnya masing-masing
dan beliau mampu
mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan
itu hanya dengan sekali dengar.
Sehingga para
ulama
pun
mengakui kehebatan hafalan
Bukhari
dan tingginya
kedudukan beliau.[6]
d.
Guru dan Murid Imam Bukhari.
1.
Guru-guru
Imam Bukhari.
Rihlah atau perjalanan
ke berbagai negri atau kota menurut perspekitf para ulama hadits bukan sekedar
perjalanan mencari kesenangan atau sekedar kunjungan belaka. Perjalanan itu
dimaksudkan untuk mencari hadits dan sanadnya. Budaya rihlah ini telah dimulai
sepeninggal Rasulullah yang dilakukan oleh para sahabat disebabkan terpencarnya
para sahabta ke berbagai wilayah untuk mendakwahi Islam. Juga oleh para tabi’in
dan ulama penerusnya .[7]
Imam Bukhari
menyatakan bahwa ia telah menulis hadits lebih dari 1.080 guru, semuanya adalah
ahli hadis dan mempunyai pendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Diantara guru-guru beliau yang termasyhur ialah: Ali Ibn al-Madiny, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al-Firyaaby, Makiy
bin Ibrahim al- Balkhiy, Muhammad bin Yuusuf al-Baykindy, Ibn Rahawaih, dan beberapa guru lain dimana beliau meriwayatkan hadis dalam kitab Shahih-nya sejumlah
289 guru.[8]
2.
Murid-murid
Imam Bukhari.
Diantara murid-murid Imam Bukhâri adalah;
1)
Al-Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj an Naisaburi (204-261), penulis buku
shahih
Muslim
2)
Al Imam
Abu „Isa At Tirmizi
(210-279) penulis buku sunan At
Tirmidzi
3)
Al Imam
Shalih bin Muhammad (205-293)
4)
Al Imam Abu Bakr bin Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223-311), penulis
kitab shahih
Ibnu Khuzaimah.
5)
Al Imam Abu Al Fadhl Ahmad bin Salamah An Naisaburi (286), teman dekat imam
Muslim,
dan
dia juga memiliki
buku shahih seperti buku Imam Muslim.
6)
Al Imam
Muhammad bin Nashr
Al Marwazi (202-294)
7)
Al Hafizh
Abu Bakr bin Abi Dawud
Sulaiman
bin Al Asy‟ats (230-316)
8)
Al Hafizh Abu Al Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdul „Aziz Al Baghawi
(214-317)
9)
Al Hafizh Abu Al Qadli Abu Abdillah Al Husain bin Isma‟il Al Mahamili (235-
10)
Al Imam
Abu Ishaq Ibrahim bin Ma‟qil al Nasafi
(290)
11)
Al Imam
Abu Muhammad Hammad
bin Syakir al Nasawi
(311)
12)
Al Imam
Abu Abdillah Muhammad bin
Yusuf bin Mathar al
Firabri (231-320)
d.
Karya-karya Imam Bukhari.
Imam Bukhâri memiliki banyak hasil
karya, baik yang sudah dicetak (Mathbu‟ah)
maupun masih dalam bentuk manuskrip (Makhthuthah). Di
antara
hasil karya
Imam
Bukhâri adalah sebagai berikut: Kitab Al
Jami‟ al Sahih (Sahih
Bukhâri), Kitab Al Adab
al Mufrad, Kitab Al Bir al Walidain,
Kitab Al Hibah, Kitab
Al Qira`ah
Khalfa al Imam, Kitab Raf‟ul Yadain
fi ash
Shalah, Kitab Khalqi Af‟al al-Ibad,
Kitab Al Tarikh
al Kabir, Kitab Al Tarikh al Awsath, Kitab Al Tarikh al Shaghir, Kitab Al Jâmi‟ al Kabîr, Kitab Al Musnad al
Kabir, Kitab Al Tafsir al Kabir, Kitab Kitab al Asyribah, Kitab Kitab al „Ilal, Kitab Usami
al Shahabah, Kitab Al
Wihdan, Kitab Al
Mabsuth, Kitab Al Kina, Kitab Al Fawâid.[9]
e.
Kembalinya Imam Bukhai ke Buhara dan Hari Wafatnya.
Sebelum kembali
ke Bukhara ia tinggal di Naisabur (tiba pada tahun 250 H.), kedatangannnya di
Naisabur disambut gembira oleh masyarakat dan pemerintah termasuk gurunya
sendiri Muhammad bin Yahya al-Zuhali. Kemudian ia menetap diperkampungan
orang-orang Bukhara dan mengajari hadis. Al-Zuhli menganjurkan kepada
masyarakat Naisabur unuk belajar kepada al-Bukhari.
Peristiwa yang
menyebabkan Bukhari keluar dari Nasibur adalah fitnah yang menipanya dalam
kasus “mihnah” (keyakinan
terhadap AL-Qur’an makhluk atau bukan). Imam al-Bukhari diisukan telah
berkeyakinan bahwa AL-Qur’an adalah makhluk. Berita ini membuat gurunya marah.
Peristiwa mihnah tersebut
menjadikan al-Bukhari memilih keluar dari Nasaibur, demi menjaga nama baik dan
meredakan fitnah yang menimpanya. Imam al-Bukhari memilih untuk pulang
kekampung halaman (Bukhara).
Belau wafat
pada malam idul fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun
kurang 13 hari. Sebelum wafat ia berwasiat agar jenazahnya dikafani tiga helai
kain, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah zuhur di hari idul
fitri itu.[10]
B.
Metodologi Imam Bukhari dalam Kritik Hadits.
a.
Periwayatn Hadits.
Imam bukhari
tidak mengajukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dijadikan standarisasi
dalam penetepan ke-sahiha-an hadits secara jelas. Akan tetapi
persyaratan tersebut dapat diketahui melalui penelitian terhadap
karya-karyanya. Para ulama sepakat bahwa Imam al-Bukhari selalu berpegang pada
tingkat ke-sahihan-an yang paling tinggi. Muhammad Mustafa Azmi
menyimpulkan bahwa persyaratan yang digariskan oleh Imam Bukhari adalah:
a)
Perawi
harus memenuhi tingkat kreteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi,
keilmuan dan standar akademik.
b)
Harus
ada informasi positif (pasti) tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka
saling bertemu muka, dan para murid belajar langsung dari syeikh (guru)
hadisnya.[11]
Al-Bukhari
tidak sengaja mengharuskan perawi semasa dengannya marwi’anhu (orang
yang diriwayatkan hadits dari padanya) bukan al-Bukhari mengharuskan ada
perjumpaan antar kedua mereka walaupun sekali. Karena inilah para ulama
mengatakan bahwa al-Bukhari mempunyai dua syarat :syarath mu’asyarah: semasa
dan syartah liqa: ada perjumpaan. Al-Bukhari dalam hal ini lebih keras
syaratnya dari pada yang lain. Karenanya al-Bukhari tidak meriwayatkan hadits
dari orang yang mengatakan ,,’an fulanin
= dari si pulan,” karena perkataan ini, tidak memastikan anda mendengar sendiri.[12]
b.
Seputar Kredibilitas Para Rawi.
Para kritikus selama ini masih disibukkan oleh perselisihan
mengenai masalah seputar jarh wa Al-Tad’il (menilai negatif atau positif
seorang rawi) sehingga riwayat yang dibawanya bisa diterima dan dijadikan argumen. Atau
sebaliknya bertolak pribadi tersebut sekaligus periwayatannya. Perselsihan yang
ada berkutat pada metode penetapan terhadap seseorang yang sedang diteliti
(obyek bahasan). Apakah cukup dengan
kesaksian dua orang yang dikenal kredibilatas keilmuannya. Atau cukup dengan
kepopuleran (syuhrah) si rawi sebagai seorang yang adil. Kalangan kritikus
hadis seperti Khatib a-Bagdhadi dan Ibnu Shalah menysyaratkan cukup satu orang
saja sebagai saksi terhadap seorang rawi, karena masalah ini hanya menyangkut
masalah khabar atau berita mengenai sesuatu.
Al-Bukhari termasuk orang yang terlihat dinilai sangat ketat, namun
jika kita teliti lebih jauh dalam penetapan ketepercayaan seorang rawi, ia juga
kadang meriwayatkan dari seorang rawi, dimana hanya satu orang kritikus saja
yang berkomentar positif (adil) mengenai rawi tersebut.[13]
c.
Taggungjawab Ilmiah dan Kredibilitas sang Imam.
Satu kelebihan intelektual sang Imam adalah tanggung jawab
ilmiahnya yang selalu ia usung kapanpun dan bisa kita baca dalam
karya-karyanya. Akan tampak pada pendapat dan keputasan hukum-hukumnya,
terutama terkait dengan hak seorang rawi ketika diberikan olehnya satu pilihan
penilaian. disamping Al-Bukhari memberikan penilaian adil atau tarjih, ia
juga banyak mengkayakan pengetahuan atau data mengenai seorang rawi, meski rawi
tersebut ia nilai tarjih.
Satu hal yang membuktikan keobjektifan al-Bukhari dalam menilai
para rawi adalah ketidakbencian terhadap pribadi Al-Dzuhaili, yaitu seorang
ulama besar Samarkand yang berbeda paham dengannya. Amanah ilmiah juga ia
tunjukkan seperti ditegaskan diatas, ketika ia menilai para rawi, terlihat
pengetahuan dan wawasan mendalam mengenai pribadi-pribadi rawi tersebut. Tidak
hanya amanah, keilmiahan al-Bukhari juga menunjukkan sifat kedalamnya. Demikian
ia harus mengetahui informasi seorang rawi dengan mendalam dan luas.[14]
C.
Kitab Sahih Bukhari.
a.
Motivasi penyusunan Kitab Sahih al-Bukhari.
Pada masa sahabt hadis-hadis Nabi SAW. Belum dapat dikodifikasikan
secara sistematik dikarenakan masih adanya kekhawatiran bercampurnya al-Qur’an dengan
hadis-hadis Nabi SAW. Pada akhir masa
tabi’in dimana para ulama telah menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam dan
telah bermunculan kelompok-kelompok aliran dalam Islam seperti Khawarij,
Rawafidh, dan Qadariyah, maka hadis-hadis Nabi SAW. pada periode berikutnya muncullah
ulama-ulama yang menulis hadis lebih lengkap dari ulama-ulama sebelumnya.
Mereka menulis hadis-hadis yang membahas masalah hukum secara luas. Muncullah
nama-nama seperti Imam Malik bin Anas (93-179 H.) yang menulis kitab al-Muwatha
di madinah.
Latar belakang in membangkitkan inisiatif Imam al-Bukhari untuk
mengumpulkan hadis-hadis yang sahih saja sehingga tidak membingungkan orang. inisiatif
ini didukung secara moril oleh gurunya, Ishaq bin Rahawaih (161-238 H) .
dorongan moril yang lain datang diri mimpinya. Imam al-Bukhari menuturkan: “Aku
bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. aku berdiri dihadapan beliau sambil
mengipasinya. Setelah itu akumenemukan ahli tabir mimpi untuk menanyakan tabir
mimpikan. Ahli tabir itu mengatakan bahwa aku akan membersihkan
kebohongan-kebohongan yang dilontarkan kepada Nabi SAW. peristiwa tersebut
mendorong aku untuk menulis al-Jami’ al-Shahih .[15]
b.
Metode Imam Bukhari dalam menyusun jami’ al-Shahih.
Imam Bukhari menamakan karyanya dengan
الجامع الصحيح المسند من حديث رسول اللّه صلي
الله عليه وسلّم وسننه وأيّامه
Dalam penamaan karyanya ini mengandung pengertian:
·
Al-Jami’ (mengumpulkan) berarti imam Bukhari mengumpulkan dalam
karyanya masalah-masalah hukum, fadhilah (sifat-sifat yang utama),
informasi masa lalu atau masa yang akan datang, Adab/Akhlak, Tafsir dan
lain-lain.
·
Al-Shahih (hadis shahih) berarti imam bukhari hanya
menuliskan hadis-hadis yang sahih saja, seperti yanng beliau ungkapkan: “aku
tidak mengungkapkan al-Jami’ kecuali hadis-hadis yang sahih dan banyak
hadis-hadis shahih lainnya yang aku tinggalkan agar tidak terlalu panjang.
·
Al-Musnid yang dimaksud adalah Imam al-Bukhari hanya
menuliskan hadis-hadis yang bersambung sanadnya kepada sahabat sampai kepada
Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW. [16]
Imam Bukhari telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama 16 tahun sehingga
seperti
yang kita lihat dan baca
pada saat
ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh Imam Bukhâri dan
juga Ulama lainnya. Al Waraq menyampaikan pernyataan Imam Bukhâri: “Aku susun kitab al-Jâmi‟dari enam ratus ribu
hadis selama waktu enam
belas tahun”. Ibnu „Adi juga menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa Imam Bukhâri menyusun
judul Bab dalam Shahîhnya antara kuburan Nabi dan
Mimbarnya dan
beliau shalat
dua
raka‟at untuk
setiap
judul babnya.[17]
c. Sistematika
Hadis Shahih al-Bukhari.
Kitab Shahih al-Bukhari disusun berdasarkan urutan kitab dan bab, yang
terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab. Dimulai dengan Bab Kaefa Kana Bad,a
al-Wahyu ila Rasulullah SAW. (bagaiman awal turunnya wahyu kepada Nabi
SAW.). kemudian disusul dengan kitab al-Iman, kitab al-Gushl, kitab
at-Tayammum, kitab al-Shalah, kitab al-Azan dan seterusnya yang diakhiri
dengan kitab al-Tauhid. Naskah-naskah yang berkembang dan dicetak dengan
syarah (komentar dan penjelasan), ada beberapa perbedaan yaitu, ada kitab
yang dianggap bab atau
sebaliknya.
Dalam kitab Sahih al-Bukhari ada beberapa bab yang banyak memuat hadis, ada
pula bab yang hanya memuat suatu hadis, ada bab yang memuat ayat-ayat al-Qur’an
yang relevan tanpa hadis atau ayat-ayat al-Qur’an hanya judul.[18]
Metode dan
sistematika penulisannya adalah:
1)
Mengulangi
Hadis jika diperlukan
dan
memasukkan ayat-ayat
Al-Quran;
2)
Memasukkan fatwa sahabat dan tabi‟in sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia
kemukakan;
3)
Menta‟liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat
lain sudah ada sanadnya yang bersambung;
4)
Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh
wa at-ta‟dil;
5)
Mempergunakan
berbagai Sighat Tahammul;
6)
Disusun
berdasar tertib fiqih.
Adapun teknik
penulisan yang digunakan
adalah:
1)
Memulainya dengan
menerangkan wahyu,
karena ia adalah
dasar segala syari‟at;
2)
Kitabnya tersusun
dari
berbagai tema;
3)
Setiap tema berisi topik-topik;
4)
Pengulangan Hadis disesuaikan dengan topik yang dikehendaki
tatkala mengistinbatkan hukum.
d.
Jumlah Hadis.
Dalam Muqaddimahnya sebagaimana yang telah dikutip
oleh Abu Syuhbah,
Ibnu Shalah menghitung
jumlah hadis yang
terdapat dalam
Shahih Bukhâri sebanyak 7.275
buah, termasuk hadis yang terulang, atau sebanyak 4.000 hadis
tanpa pengulangan. Adapun
jika
tidak diulang,
menurut Ibn Hajar al-„Asqalani, sebagaimana dikutip oleh DR.
Sa‟ad bin Abdillah Ali
Humaid, menyebutkan
bahwa:
1)
Seluruh hadis Shahih Bukhâri yang maushul tanpa pengulangan berjumlah
2.602 buah
2)
Jumlah
hadis Mu’allaq 1.341 buah
3)
Jumlah matan hadis Mu’allaq namun marfu’ yang tidak disambung pada
tempat lain
berjumlah
160 buah
4)
Jumlah
hadis Mu’allaq sebanyak 1.341 buah
5)
Jumlah
hadis Mutab’ sebanyak 341 buah
6)
Jumlah
keseluruhan
hadis termasuk yang diulangi adalah 9.082 buah
Jumlah yang telah disebutkan ini tidak termasuk hadis Mauquf maupun hadis
Maqthu’.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Imam Bukhari adalah seorang yang memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang
hadits. Ia tidak hanya mempunyai kemampuan hafalan yang tinggi, namun kajian dan
penelitiannya terhadap hadits membedakan antara dirinya dengan yang lain.
Kitab al-Jami’ al-Shahih merupakan karya monumental dalam bidang hadits. Di dalamnya memuat hadits-hadits
shahih. Metode Bukhari dapat dilihat dari dua hal, pertama: Dalam tulisan kitabnya, al-
Jami’ al-Shahih, dan kedua, dari segi kajian dan penelitiannya yang dikenal ketat
dan teliti, di mana ia
menggunakan standarisasi
dalam
menentukan shahih
atau
tidaknya sebuah hadits.
Daftar Pustaka
Mukhlis
Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari, (jakarta timur,
pustaka al-kautsar, 2011)
Ahmad Fudhaili,
perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Jakarta,
transpustaka, 2013)
Ahmad Fudhaili,
perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:105
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Hadyus Sâri, Muqaddimah Shahih al-Bukhâri, (Beirut; Dar
al-Ma‟rifah,
1379 H),
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi al-Sunnah, al Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo; Silsilah al Buhuts al-Islamiyah, 1995)
Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok Ilmu Drayah Hadis, (jakarta, bulan
bintang, 1976)
[1]
Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari, (jakarta
timur, pustaka al-kautsar, 2011), cet:1, hal:13
[2]
Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Jakarta,
transpustaka, 2013), hal:104
[3] Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual
Imam Al-Bukhari, op, cit, hal:14
[4] Kuttab adalah
sebuah lembaga pendidikan dasar. Istilah ini telah ada sebelum masa Islam.
Menurut Ahmad Syalabi, Kuttab dalam sejarah pendidikan di dunia Islam
sedikitnya terdapat duajenis. Yang pertama adalah: kuttab yang menjalankan
fungsinya sebagai institusi yang mengajarkan baca tulis dengan teks dasarnya
puisi-puisi Arab dan sebagian besar tenaga pengajarannya adalah nono musli,
jenis ini telah berkembang sebelum Islam. Yang kedua adalah: kuttab yang
mengajarkan Al-Qur’an dan ajran-ajaran Islam lainnya
[5] Ahmad
Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit,
hal:105
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Hadyus Sâri, Muqaddimah Shahih al-Bukhâri, (Beirut;
Dar al-Ma‟rifah,
1379 H), Jilid 1, hlm. 652
[7] Mukhlis
Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari,op, cit, hal: 19
[8] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi al-Sunnah, al Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo; Silsilah al Buhuts al-Islamiyah, 1995), hlm:67
[9] Ahmad
Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit,
hal:115
[10] Ibid, hal:118
[11] Ibid hal:121
[12] Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok Ilmu Drayah Hadis, (jakarta, bulan
bintang, 1976), hal:155
[13] Mukhlis
Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari,op, cit, hal:186
[14] Ibid hal:195
[15] Ahmad
Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit,
hal:127
[16] Ibid hal:129
[18] Ahmad
Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit,
hal:131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar