Selasa, 02 Februari 2016

pengenalan terhadap kitab hadits sahih bukhari



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.
Hadis Rasulullah SAW adalah salah satu dari dua sumber pokok ajaran Islam, dan salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Hadis Rasulullah SAW jika dilihat dari sisi kodifikasinya, maka ia telah dibukukan sejak zaman Rasulullah SAW, akan tetapi  masih  bersifat  personal,  adapun  kodifikasi  hadis yang  bersifat  umum  dan  resmi dengan mendapat perintah dari seorang khalifah terjadi pada masa Tabi‟in, tepatnya pada masa Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Banyak opini yang menyebar di kalangan sebagian publik akademis bahwa hadis nabi selama satu abad penuh belum ditulis dan masih berupa hafalan yang ditransfer dari masa ke masa. Opini tersebut mungkin disebabkan perkataan sebagian Ulama Hadis yang menyatakan bahwa yang pertama kali mengkodifikasi hadis adalah Ibnu Shihab al-Zuhri (w.124 H) setelah mendapat perintah dari Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Opini tersebut menyebar kira-kira 5 abad berturut-turut hingga datang masa Khatib al- Baghdadi yang telah meneliti dan mengumpulkan data otentik dari fakta-fakta yang ada, sehingga ia dapat menjelaskan kepada umat bahwa hadis Rasulullah SAW telah dibukukan sejak zaman pertama hijriyah. Penelitian tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “Taqyid al-Ilmi”.
Pada  masa  Rasulullah  SAW  hadis  nabi  telah  ditulis,  banyak  fakta  dan  data  yang membuktikannya yang dapat kita rujuk dari berbagai catatan sejarah.  Kemudian datang generasi tabiin. Pada masa ini hadis dikodifikasikan secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdil Aziz.
Kemudian datang generasi Tabi’ut Tabi’in. Pada masa ini muncullah mushannafat yang ditulis oleh para ulama zaman tersebut, seperti kitab Muwatth, Sunan, Musannaf, Jamidan kitab-kitab Ajza’. Pada periode berikutnya,  yaitu periode  Tabi’ul  Athba’ sekitar abad ke III H, pada periode  ini  kitab-kitab  hadis  dibukukan  dengan  memiliki  corak  yang  berbeda  dengan periode sebelumnya, diantaranya adalah kitab-kitab Jawami  seperti al-Jami  al Shahih karya Imam Bukhari dan al Jami karya Imam al-Tirmizi, dan lain sebagainya.Dari sekilas runtutan sejarah kodifikasi hadis di atas dapat diketahui posisi Shahih al-Bukhari. Kitab ini termasuk kitab yang ditulis pada abad ke-3 H.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah Biografi Imam Bukhari?
2.      Bagaimanakah Metodologi Imam Bukhari dalam Kritik Hadits?
3.      Bagaimanakah Kitab Sahih Bukhari?

C.    Tujuan Pembelajaran.
1.      Memahami Biografi Imam Bukhari.
2.      Memahami Metodologi Imamm Bukhari dalam Kritik Hadits.
3.      Emahami Kitb Shahi Bukhari.












BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Imam Bukhari.
a.      Nasabnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizah Al-Ju’fi.  Ayahnya, Syaikh Ismail terkenal dengan panggilan Abu Hasan adalah seorang ulama hadits yang masyhur di Bukhara yang pernah menjadi murid Imam Malik- Imam Darul Hijrah- ia juga salah satu sahabat dari Hammad bin Ziyad dan Ibnu Mubarak, tabi’in masyhur dan diterima riwayatnya dikalang ulama hadits. Melihat pertemanan ayahnya ini, kita bisa melihat bahwa al-Bukhari dibesarkan dalam sebuah lingkungan keluarga yang relijius dan dipenuhi semangat keilmuan. Imam Ibnu Hibban mencantumkan biografi  Syaikh Imam Ismail dalam kitab Al-Tsiqat.[1]
b.      Kelahirannya dan Pertumbuhannya.
Beliau adalah Imam, Syaikhul Islam, al Hafizh, Amirul Mukminin dalam hadis. Beliau lahir pada hari jum’at tanggal 13 setelah salat jum’at[2] bulan Syawwal tahun 194 H. Selain ayahnya dikenal sebagai orang yang berilmu beliau juga dikenal sebagai ahli wara (menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal maupun haramnya), dan menjaga ketakwaan. Dikisahkan sebelum ajal menjemputnya, ia pernah mengatakan bahwa dalam harta yang dimilikinya tidak sedikitpun yang berbau syubhat apalagi haram.
Tapi sayangnya, ayahnya meninggal sewaktu Al-Bukahari belum beranjak dewasa. Al-Bukhari dan adiknya termasuk beruntung karena ayahnya meninggalkan harta warisan yang cukup untuk kehidupan selanjtnya. Ibundanyalah yang akhirnya bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Tentang ibunya, Ibnu Hajar mengatakan ibunda Imam al-bukhari adalah seorang ahli ibadah (afeksionis) yang tekun hingga sebagian besar riwayatnya menjelaskan banyak terdapat karamah atau kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah.[3]
c.       Kecerdasan dan Perhatian Imam-al-Bukhari pada Hadits.
Imam al-Bukahri mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika ia berusia sekitar sepuluh tahun. ketika itu ia berada di kuttab.[4] Kemudian ia keluar dari kuttab karena berselisih pendapat dengan al-Dakhili dan lainnya.  Memasuki usia 16 tahun, Imam al-Bukhari telah menghafal kitab-kitab karya Ibnu Mubarak dan Waki’ dan telah memahami pendapat-pendapt ahli ra’yi (rasionalis).  Memasuki usia 18 tahun beliau mengarang kitab Qadhaya al-Shahabah wa al-Tabi’in kemudian ia mengarang kitab al-Tarikh di kota Madinah disisi makam Rasulullah SAW.
Kekuatan daya hafal Imam al-Bukhari bukan hanya berdasarkan pengakuan dirinya sendiri, akan tetapi berdasarkan pengujian yang dilakukan oleh ulama-ulama Hadis untuk membuktikan kekuatan hafalan dan kecerdasannya. Imam Bukhari berkata: “saya hafal hadits diluar kepala sebanyak 100.000 hadits sahih dan 200.00 hadits yang tidak sahih”.[5]
            Suatu ketika Imam Bukhâri datang ke Baghdad. Para ulama hadits yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadits yang telah dibolak-balikkan isi hadits dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian 100 hadits ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadits yang berbeda kepada Bukhari. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadits yang mereka bawakan, maka Bukhari menjawab dengan jawaban yang sama, Aku tidak mengetahuinya.”
Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian Bukhari yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, Adapun hadits yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadits yang benar adalah demikian. Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadits beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadits yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar.  Sehingga  para  ulama  pun  mengakui  kehebatan  hafalan  Bukhari  dan  tingginya kedudukan beliau.[6]
d.      Guru dan Murid Imam Bukhari.
1.      Guru-guru Imam Bukhari.
Rihlah atau perjalanan ke berbagai negri atau kota menurut perspekitf para ulama hadits bukan sekedar perjalanan mencari kesenangan atau sekedar kunjungan belaka. Perjalanan itu dimaksudkan untuk mencari hadits dan sanadnya. Budaya rihlah ini telah dimulai sepeninggal Rasulullah yang dilakukan oleh para sahabat disebabkan terpencarnya para sahabta ke berbagai wilayah untuk mendakwahi Islam. Juga oleh para tabi’in dan ulama penerusnya .[7]
Imam Bukhari menyatakan bahwa ia telah menulis hadits lebih dari 1.080 guru, semuanya adalah ahli hadis dan mempunyai pendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan. Diantara guru-guru beliau yang termasyhur ialah: Ali Ibn al-Madiny, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Muhammad bin Yusuf al-Firyaaby, Makiy bin Ibrahim al- Balkhiy, Muhammad bin Yuusuf al-Baykindy, Ibn Rahawaih, dan beberapa guru lain dimana beliau meriwayatkan hadis dalam kitab Shahih-nya sejumlah 289 guru.[8]
2.      Murid-murid Imam Bukhari.
Diantara murid-murid Imam Bukhâri adalah;
1)      Al-Imam Abu al Husain Muslim bin al Hajjaj an Naisaburi (204-261), penulis buku shahih Muslim
2)      Al Imam Abu Isa At Tirmizi (210-279) penulis buku sunan At Tirmidzi
3)      Al Imam Shalih bin Muhammad (205-293)
4)      Al Imam Abu Bakr bin Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223-311), penulis kitab shahih Ibnu Khuzaimah.
5)      Al Imam Abu Al Fadhl Ahmad bin Salamah An Naisaburi (286), teman dekat imam Muslim, dan dia juga memiliki buku shahih seperti buku Imam Muslim.
6)      Al Imam Muhammad bin Nashr Al Marwazi (202-294)
7)      Al Hafizh Abu Bakr bin Abi Dawud Sulaiman bin Al Asyats (230-316)
8)      Al Hafizh Abu Al Qasim Abdullah bin Muhammad bin Abdul „Aziz Al Baghawi (214-317)
9)      Al Hafizh Abu Al Qadli Abu Abdillah Al Husain bin Ismail Al Mahamili (235-
10)   Al Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Maqil al Nasafi (290)
11)  Al Imam Abu Muhammad Hammad bin Syakir al Nasawi (311)
12)  Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Mathar al Firabri (231-320)
d.      Karya-karya Imam Bukhari.
Imam  Bukhâri  memiliki banyak  hasil  karya,  baik  yang  sudah  dicetak (Mathbu‟ah) maupun  masih  dalam  bentuk  manuskrip  (Makhthuthah).  Di  antara  hasil  karya  Imam Bukhâri adalah sebagai berikut: Kitab Al Jamial Sahih (Sahih Bukri), Kitab Al Adab al Mufrad, Kitab Al Bir al Walidain, Kitab Al Hibah, Kitab Al Qira`ah Khalfa al Imam, Kitab Raf‟ul Yadain fi ash Shalah, Kitab Khalqi Af‟al al-Ibad, Kitab Al Tarikh al Kabir, Kitab Al Tarikh al Awsath, Kitab Al Tarikh al Shaghir, Kitab Al Jâmi al Kabîr, Kitab Al Musnad al Kabir, Kitab Al Tafsir al Kabir, Kitab Kitab al Asyribah, Kitab Kitab al „Ilal, Kitab Usami al Shahabah, Kitab Al Wihdan, Kitab Al Mabsuth, Kitab Al Kina, Kitab Al Fawâid.[9]
e.       Kembalinya Imam Bukhai ke Buhara dan Hari Wafatnya.
Sebelum kembali ke Bukhara ia tinggal di Naisabur (tiba pada tahun 250 H.), kedatangannnya di Naisabur disambut gembira oleh masyarakat dan pemerintah termasuk gurunya sendiri Muhammad bin Yahya al-Zuhali. Kemudian ia menetap diperkampungan orang-orang Bukhara dan mengajari hadis. Al-Zuhli menganjurkan kepada masyarakat Naisabur unuk belajar kepada al-Bukhari.
Peristiwa yang menyebabkan Bukhari keluar dari Nasibur adalah fitnah yang menipanya dalam kasus “mihnah”  (keyakinan terhadap AL-Qur’an makhluk atau bukan). Imam al-Bukhari diisukan telah berkeyakinan bahwa AL-Qur’an adalah makhluk. Berita ini membuat gurunya marah. Peristiwa mihnah  tersebut menjadikan al-Bukhari memilih keluar dari Nasaibur, demi menjaga nama baik dan meredakan fitnah yang menimpanya. Imam al-Bukhari memilih untuk pulang kekampung halaman (Bukhara).
Belau wafat pada malam idul fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M) dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Sebelum wafat ia berwasiat agar jenazahnya dikafani tiga helai kain, tanpa baju dan sorban. Jenazahnya dimakamkan setelah zuhur di hari idul fitri itu.[10]  
B.     Metodologi Imam Bukhari dalam Kritik Hadits.
a.             Periwayatn Hadits.
Imam bukhari tidak mengajukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dijadikan standarisasi dalam penetepan ke-sahiha-an hadits secara jelas. Akan tetapi persyaratan tersebut dapat diketahui melalui penelitian terhadap karya-karyanya. Para ulama sepakat bahwa Imam al-Bukhari selalu berpegang pada tingkat ke-sahihan-an yang paling tinggi. Muhammad Mustafa Azmi menyimpulkan bahwa persyaratan yang digariskan oleh Imam Bukhari adalah:
a)      Perawi harus memenuhi tingkat kreteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademik.
b)      Harus ada informasi positif (pasti) tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para murid belajar langsung dari syeikh (guru) hadisnya.[11]
Al-Bukhari tidak sengaja mengharuskan perawi semasa dengannya marwi’anhu (orang yang diriwayatkan hadits dari padanya) bukan al-Bukhari mengharuskan ada perjumpaan antar kedua mereka walaupun sekali. Karena inilah para ulama mengatakan bahwa al-Bukhari mempunyai dua syarat :syarath mu’asyarah: semasa dan syartah liqa: ada perjumpaan. Al-Bukhari dalam hal ini lebih keras syaratnya dari pada yang lain. Karenanya al-Bukhari tidak meriwayatkan hadits dari orang yang mengatakan ,,’an fulanin  = dari si pulan,” karena perkataan ini, tidak memastikan anda mendengar sendiri.[12]
b.      Seputar Kredibilitas Para Rawi.
Para kritikus selama ini masih disibukkan oleh perselisihan mengenai masalah seputar jarh wa Al-Tad’il (menilai negatif atau positif seorang rawi) sehingga riwayat yang dibawanya bisa  diterima dan dijadikan argumen. Atau sebaliknya bertolak pribadi tersebut sekaligus periwayatannya. Perselsihan yang ada berkutat pada metode penetapan terhadap seseorang yang sedang diteliti (obyek bahasan).  Apakah cukup dengan kesaksian dua orang yang dikenal kredibilatas keilmuannya. Atau cukup dengan kepopuleran (syuhrah) si rawi sebagai seorang yang adil. Kalangan kritikus hadis seperti Khatib a-Bagdhadi dan Ibnu Shalah menysyaratkan cukup satu orang saja sebagai saksi terhadap seorang rawi, karena masalah ini hanya menyangkut masalah khabar atau berita mengenai sesuatu.
Al-Bukhari termasuk orang yang terlihat dinilai sangat ketat, namun jika kita teliti lebih jauh dalam penetapan ketepercayaan seorang rawi, ia juga kadang meriwayatkan dari seorang rawi, dimana hanya satu orang kritikus saja yang berkomentar positif (adil) mengenai rawi tersebut.[13]  
c.       Taggungjawab Ilmiah dan Kredibilitas sang Imam.
Satu kelebihan intelektual sang Imam adalah tanggung jawab ilmiahnya yang selalu ia usung kapanpun dan bisa kita baca dalam karya-karyanya. Akan tampak pada pendapat dan keputasan hukum-hukumnya, terutama terkait dengan hak seorang rawi ketika diberikan olehnya satu pilihan penilaian. disamping Al-Bukhari memberikan penilaian adil atau tarjih, ia juga banyak mengkayakan pengetahuan atau data mengenai seorang rawi, meski rawi tersebut ia nilai tarjih.
Satu hal yang membuktikan keobjektifan al-Bukhari dalam menilai para rawi adalah ketidakbencian terhadap pribadi Al-Dzuhaili, yaitu seorang ulama besar Samarkand yang berbeda paham dengannya. Amanah ilmiah juga ia tunjukkan seperti ditegaskan diatas, ketika ia menilai para rawi, terlihat pengetahuan dan wawasan mendalam mengenai pribadi-pribadi rawi tersebut. Tidak hanya amanah, keilmiahan al-Bukhari juga menunjukkan sifat kedalamnya. Demikian ia harus mengetahui informasi seorang rawi dengan mendalam dan luas.[14]

C.    Kitab Sahih Bukhari.
a.      Motivasi penyusunan Kitab Sahih al-Bukhari.
Pada masa sahabt hadis-hadis Nabi SAW. Belum dapat dikodifikasikan secara sistematik dikarenakan masih adanya kekhawatiran bercampurnya al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi SAW.  Pada akhir masa tabi’in dimana para ulama telah menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam dan telah bermunculan kelompok-kelompok aliran dalam Islam seperti Khawarij, Rawafidh, dan Qadariyah, maka hadis-hadis Nabi SAW. pada periode berikutnya muncullah ulama-ulama yang menulis hadis lebih lengkap dari ulama-ulama sebelumnya. Mereka menulis hadis-hadis yang membahas masalah hukum secara luas. Muncullah nama-nama seperti Imam Malik bin Anas (93-179 H.) yang menulis kitab al-Muwatha di madinah.
Latar belakang in membangkitkan inisiatif Imam al-Bukhari untuk mengumpulkan hadis-hadis yang sahih saja sehingga tidak membingungkan orang. inisiatif ini didukung secara moril oleh gurunya, Ishaq bin Rahawaih (161-238 H) . dorongan moril yang lain datang diri mimpinya. Imam al-Bukhari menuturkan: “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. aku berdiri dihadapan beliau sambil mengipasinya. Setelah itu akumenemukan ahli tabir mimpi untuk menanyakan tabir mimpikan. Ahli tabir itu mengatakan bahwa aku akan membersihkan kebohongan-kebohongan yang dilontarkan kepada Nabi SAW. peristiwa tersebut mendorong aku untuk menulis al-Jami’ al-Shahih .[15]
b.      Metode Imam Bukhari dalam menyusun jami’ al-Shahih.
Imam Bukhari menamakan karyanya dengan
الجامع الصحيح المسند من حديث رسول اللّه صلي الله عليه وسلّم وسننه وأيّامه
Dalam penamaan karyanya ini mengandung pengertian:
·         Al-Jami’ (mengumpulkan) berarti imam Bukhari mengumpulkan dalam karyanya masalah-masalah hukum, fadhilah (sifat-sifat yang utama), informasi masa lalu atau masa yang akan datang, Adab/Akhlak, Tafsir dan lain-lain.
·          Al-Shahih (hadis shahih) berarti imam bukhari hanya menuliskan hadis-hadis yang sahih saja, seperti yanng beliau ungkapkan: “aku tidak mengungkapkan al-Jami’ kecuali hadis-hadis yang sahih dan banyak hadis-hadis shahih lainnya yang aku tinggalkan agar tidak terlalu panjang.
·         Al-Musnid  yang dimaksud adalah Imam al-Bukhari hanya menuliskan hadis-hadis yang bersambung sanadnya kepada sahabat sampai kepada Nabi SAW. baik perkataan, perbuatan atau ketetapan Nabi SAW. [16]
Imam Bukhari telah menyusun kitabnya secara sungguh-sungguh dan teliti selama  16  tahun  sehingga  seperti  yang  kita  lihat  dan  baca  pada  saat  ini. Kesungguhan dan ketelitian ini disampaikan sendiri oleh Imam Bukhâri dan juga Ulama lainnya. Al Waraq menyampaikan pernyataan Imam Bukhâri: Aku susun kitab al-Jâmidari enam ratus ribu hadis selama waktu enam belas tahun. Ibnu „Adi juga menyampaikan berita dari beberapa guru beliau bahwa Imam Bukhâri   menyusun   judul   Bab   dalam   Shahîhnya   antara   kuburan   Nabi   dan Mimbarnya dan beliau shalat dua rakaat untuk setiap judul babnya.[17]
c.       Sistematika Hadis Shahih al-Bukhari.
Kitab Shahih al-Bukhari disusun berdasarkan urutan kitab dan bab, yang terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab. Dimulai dengan Bab Kaefa Kana Bad,a al-Wahyu ila Rasulullah SAW. (bagaiman awal turunnya wahyu kepada Nabi SAW.). kemudian disusul dengan kitab al-Iman, kitab al-Gushl, kitab at-Tayammum, kitab al-Shalah, kitab al-Azan dan seterusnya yang diakhiri dengan kitab al-Tauhid. Naskah-naskah yang berkembang dan dicetak dengan syarah (komentar dan penjelasan), ada beberapa perbedaan yaitu, ada kitab yang dianggap bab  atau sebaliknya.
Dalam kitab Sahih al-Bukhari  ada beberapa bab yang banyak memuat hadis, ada pula bab yang hanya memuat suatu hadis, ada bab yang memuat ayat-ayat al-Qur’an yang relevan tanpa hadis atau ayat-ayat al-Qur’an hanya judul.[18]
Metode dan sistematika penulisannya adalah:
1)      Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran;
2)      Memasukkan fatwa sahabat dan tabiin  sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan;
3)      Menta‟liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung;
4)      Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh wa at-ta‟dil;
5)      Mempergunakan berbagai Sighat Tahammul;
6)      Disusun berdasar tertib fiqih.
Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah:
1)      Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syariat;
2)      Kitabnya tersusun dari berbagai tema;
3)      Setiap tema berisi topik-topik;
4)      Pengulangan    Hadis    disesuaikan    dengan    topik    yang    dikehendaki    tatkala mengistinbatkan hukum.
d.      Jumlah Hadis.
Dalam Muqaddimahnya sebagaimana yang telah dikutip oleh Abu Syuhbah, Ibnu  Shalah  menghitung  jumlah  hadis  yang  terdapat  dalam  Shahih  Bukhâri sebanyak 7.275 buah, termasuk hadis yang terulang, atau sebanyak 4.000 hadis tanpa pengulangan. Adapun jika tidak diulang, menurut Ibn Hajar al-„Asqalani, sebagaimana dikutip oleh DR. Saad bin Abdillah Ali Humaid, menyebutkan bahwa:

1)      Seluruh hadis Shahih Bukhâri yang maushul tanpa pengulangan berjumlah 2.602 buah
2)      Jumlah hadis Mu’allaq 1.341 buah
3)      Jumlah matan hadis Muallaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain berjumlah 160 buah
4)      Jumlah hadis Mu’allaq sebanyak 1.341 buah
5)      Jumlah hadis Mutab’ sebanyak 341 buah
6)      Jumlah keseluruhan hadis termasuk yang diulangi adalah 9.082 buah

Jumlah yang telah disebutkan ini tidak termasuk hadis Mauquf maupun hadis Maqthu’.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Imam Bukhari adalah seorang yang memiliki reputasi yang tinggi dalam bidang hadits. Ia tidak hanya mempunyai kemampuan hafalan yang tinggi, namun kajian dan penelitiannya terhadap hadits membedakan antara dirinya dengan yang lain. Kitab al-Jami al-Shahih merupakan karya monumental dalam bidang hadits. Di dalamnya memuat hadits-hadits shahih. Metode Bukhari dapat dilihat dari dua hal, pertama: Dalam tulisan kitabnya, al- Jami al-Shahih, dan kedua, dari segi kajian dan penelitiannya yang dikenal ketat dan  teliti,  di  mana  ia  menggunakan  standarisasi  dalam  menentukan shahih atau tidaknya sebuah hadits.












Daftar Pustaka
Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari, (jakarta timur, pustaka al-kautsar, 2011)
Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Jakarta, transpustaka, 2013)
Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:105
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Hadyus Sâri, Muqaddimah Shahih al-Bukhâri, (Beirut; Dar al-Marifah, 1379 H),
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi al-Sunnah, al Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo; Silsilah al Buhuts al-Islamiyah, 1995)
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok Ilmu Drayah Hadis, (jakarta, bulan bintang, 1976)



[1] Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari, (jakarta timur, pustaka al-kautsar, 2011), cet:1, hal:13
[2] Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih, (Jakarta, transpustaka, 2013), hal:104  
[3]  Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari, op, cit, hal:14
[4] Kuttab adalah sebuah lembaga pendidikan dasar. Istilah ini telah ada sebelum masa Islam. Menurut Ahmad Syalabi, Kuttab dalam sejarah pendidikan di dunia Islam sedikitnya terdapat duajenis. Yang pertama adalah: kuttab yang menjalankan fungsinya sebagai institusi yang mengajarkan baca tulis dengan teks dasarnya puisi-puisi Arab dan sebagian besar tenaga pengajarannya adalah nono musli, jenis ini telah berkembang sebelum Islam. Yang kedua adalah: kuttab yang mengajarkan Al-Qur’an dan ajran-ajaran Islam lainnya
[5] Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:105
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Hadyus Sâri, Muqaddimah Shahih al-Bukhâri, (Beirut; Dar al-Marifah, 1379 H), Jilid 1, hlm. 652
[7] Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari,op, cit, hal: 19
[8] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihabi al-Sunnah, al Kutub al-Shihhah al-Sittah, (Kairo; Silsilah al Buhuts al-Islamiyah, 1995), hlm:67
[9] Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:115
[10] Ibid, hal:118
[11] Ibid hal:121
[12] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pokok-pokok Ilmu Drayah Hadis, (jakarta, bulan bintang, 1976), hal:155
[13] Mukhlis Rahmanto, Lc, Biografi Intelektual Imam Al-Bukhari,op, cit, hal:186
[14] Ibid hal:195
[15] Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:127
[16] Ibid hal:129
[17] Ibn Hajar al-Asqalani, Hadyus Sâri, op.cit., hal:489
[18] Ahmad Fudhaili, perempuan di Lembaran Suci Kritik atas Hadis-hadis Shahih,op, cit, hal:131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar