BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran
beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam
akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu
menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam
rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Disamping
itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara
barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut
harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara Islam. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya
merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah SWT, kehilangan
dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak
punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu
dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan
sesaat yang justru menjadi penyebab terjadinya
malapetaka yang merugikan manusia.
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat
sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi
instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan
teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia
dan bukan sebaliknya
B.
Rumusan
Masalah.
1.
Apakah al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan (sains)?
2.
Bagaimanakah Rekontruksi Ilmu
Pengetahuan Islam?
3.
Bagaimanakah Integrasi Ilmu
pengetahuan Islam dan Umum?
4.
Bagaimanakah Realisasi Islamisasi
Ilmu Pengetahuan?
5.
Bagaimanakah Sains (Ilmu
Pengetahuan) dalam Perspektif al-Qur’an?
C.
Tujuan
Pembelajaran.
1.
Memahami al-Qur’an dan Sains (Ilmu
Pengetahuan.
2.
Memahami Rekontruksi Ilmu
Pengetahuan Islam.
3.
Mengetahui Integrasi Ilmu
pengetahuan Islam dan Umum.
4.
Memahami Realisasi Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
5.
Memahami sains (Ilmu Pengetahuan) dalam Perspektif al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Quran dan
Ilmu Pengetahuan / (Sains)
Pada masa
sekarang kita temukan banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat
al-qur’an Dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah utuk
menunjukkan mukjizat al-qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan
orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan al-qur’an, dan untuk
menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab agung seperti itu.[1]
Diantara
meraka yang pada masa ini juga berpandangan demikian adalah mustafa shadiq
al-rifa’i dia mengatakan bahwa dalam a-qur’an seseorang mungkin dapat menemukan
banyak petunjuk mengenai fakta-fakta keilmuan. Dan sains modern membantu kita
menafsirkan makna-makna beberapa ayat dalam al-qur’an dan membantu menyingkap
fakta-faktanya. Begitu juga syaikh muhammad bakhit mengatakan.
“mereka yang
berpikir bahwa al-qur`an itu kitab pernyataan hukum-hukum islam dan kitab
peraturan, sebenarnya meninggalkan kebenaran. Al-qur’an adalah sumber seluruh
sains dan peradaban manusia... al-qur`an dengan pernyataan dan
petunjuk-petunjuknya, memiliki bukti bagi esensi dan sifat-sifat segala
sesuatu, perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatifnya, dan mengandung
seluruh sains mengenai realitas2 eksternal, baik yang samawi maupun yang
duniawi.”[2]
Al-Qur’an
adalah kalam Allah. Dan Allah adalah pencipta semua makhluk yang terdapat
dialam semesta ini. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menurunkan
al-Qur’an untuk semua makhluk-Nya. Karenanya, menjadi suatu keniscayaan bahwa
semua makhluk yang diciptakan-Nya memiliki potensi untuk menjawab seruan
Al-Qur’an. dalil atas itu –sebagamana telah kami sebutkan- adalah segolongan
jin yang beriman kepada Al-Qur’an, hanya karena mereka mendengarkan sebagi
ayat-ayat suci Al-Qur’an.[3]
Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah SWT. kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi
pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat
al-Baqarah ayat 185. Al-Qur’an juga menuntun manusia untuk menjalani segala
aspek kehidupan, termasuk didalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Al-Quran
menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan
orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak nash Al-Qur’an yang
menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun,
adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti
yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam” [4]
Imam
al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh
cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui
maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.[5]
Dr. M.
Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di
dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian Al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan
itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah didalam Al-Qur’an terdapat ilmu
matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dll, tetapi yang lebih utama
adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Qur’an yang bertentangan hasil
penemuan ilmiah yang telah mapan?
Kuntowijoyo
mengatakan bahwa Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat
besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang
dinamakan paradigma Al-Qur’an / paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma
al-Qur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin
menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa
premis-premis normatif Al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris
dan rasional. Struktur transendental Al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan
filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal,
dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di
bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam
dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.
B. Rekontruksi Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam
perkembangan keilmuan Islam, terdapat pengelompokan disiplin ilmu agama dengan
ilmu umum. Hal ini secara implisit menunjukkan adanya dikotomi ilmu
pengetahuan.
Kondisi
seperti ini terjadi mulai abad pertengahan sejarah Islam hingga sekarang. Dalam
konteks Indonesia, dikatomi ilmu umum dan ilmu agama malah sudah terlembagakan.
Hal ini bisa dilihat dari adanya dua tipe lembaga pendidikan yang dinaungi oleh
departemen yang berbeda. Lembaga pendidikan yang berlabel agama di bawah
naungan DEPAG sedangkan lembaga pendidikan umum berada di bawah DEPDIKNAS.
Pandangan
dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan
integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata
pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama
ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para
ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk
menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach/ (pendekatan
dari berbagai sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu
pengetahuan mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para
ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.
Muhammad
Abid al-Jabiry dalam Amin Abdullah mengatakan: Adalah merupakan kecelakaan
sejarah umat Islam, ketika bangunan keilmuan natural sciences / (al-ulum
al-kauniyyah) menjadi terpisah dan tidak bersentuhan sama sekali dengan
ilmu-ilmu keIslaman yang pondasi dasarnya adalah nash. Meskipun peradaban Islam
klasik pernah mengukir sejarahnya dengan nama-nama yang dikenal menguasai
ilmu-ilmu kealaman, antara lain seperti Al-Biruni (w. 1041) seorang
ensiklopedis muslim, Ibn Sina seorang filosuf dan ahli kedokteran, Ibn Haitsam
(w.1039) seorang fisikawan, dan lain-lain. Sayang perguruan tinggi Islam, yang
ada sekarang kurang mengenalnya atau mungkin sama sekali tidak mengenalnya lagi,
lebih-lebih perkembangan metodologi ilmu-ilmu kealaman yang berkembang sekarang
ini, yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu
keIslaman yang ada sekarang. Selain ilmuan-ilmuan muslim yang dikemukakan
di atas masih banyak ilmuan lain yang terkenal diantaranya, Abu Abbas al-Fadhl
Hatim an-Nizari (w-922) seorang ahli astronomi, Umar Ibn Ibrahim al-Khayyami
(w.1123) yang lebih di kenal dengan Umar Khayyam penulis buku aljabar, Muhammad
al-Syarif al-Idrisi (1100-1166) ahli ilmu bumi.
Pada periode
klasik ini (Abad VII-XIII) Islam dijuluki The golden age of Islam, telah
terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa
faktor yang mendorong kemajuan ilmu pengetahuan pada periode ini, yaitu:
1.
Agama Islam
sebagai motivasi.
2.
Kesatuan
bahasa yang memudahkan komunikasi ilmiah.
3.
Kebijakan
pemerintah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
4. Didirikannya
akademi, Laboratorium, dan perpustakaan sebagai sarana pengembangan ilmu.
5.
Ketekunan
ilmuan untuk mengadakan riset dan eksperimen.
6.
Pandangan
Internasional yang membuka isolasi dengan dunia luar.
7.
Penguasaan
terhadap bekas wilayah pengembangan filsafat klasik Yunani.
Pada periode
klasik Islam tidak terdapat dikotomi ilmu pengetahuan. Memang telah
dikembangkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis dan ilmu
pengetahuan yang bersumber dari alam dan masyarakat, tetapi masih berada dalam
satu kerangka yaitu pengetahuan Islam.
Sesudah
periode klasik ini, yaitu sejak tahun 1350 M sekitar abad XIII, orang-orang
eropa mulai maju sedangkan dunia muslim tidak saja menjadi jumud, tetapi
juga telah gagal menyerap kemajuan yang dibuat diluar peradaban mereka.
Madrasah-madrasah teologi mengesampingkan seluruh ilmu keislaman dari kurikulum
mereka kecuali astronomi dan matematika. Akibatnya orang-orang Islam yang
menuntut ilmu-ilmu empiris kebanyakan terasing dari ilmu-ilmu agama. Sebagai
akibatnya mereka tak memahami pandangan dunia islam karena telah diganti dengan
visi ateistik yang mendominasi tradisi keilmuan barat.[6]
Kita telah
melihat bagaimana islam dengan kuat menekankan kebutuhan menuntut ilmu didalam
maknanya yang terluas. Dan bagaimana orang-orang islam, dengan mengikuti
ajaran-ajaran Islam, menciptakan peradaban-peradaban yang cemerlang dan
memimpin perkembangan intelektual manusia untuk beberapa abad. Kita juga telah
melihat bagaimana pemisahan agama dari ilmu pengetahuan didalam masyarakat
muslim telah menyebabkan orang-orang islam mengabaikan peranan kepemimpinan
intelektual manusia. Akan tetapi, ketika kini masyarakat mslim menunjukkan
tahapan kebangunan kembali dan semangat baru menyingsing hampird isetiap
penjuru dunia muslim, yang menetukan untuk membawa kembali dunia keilmuan.[7]
Dengan
demikian muncullah dikotomi ilmu pengetahuan Islam dengan umum. Kalau hal ini
dibiarkan terus berkembang maka akan membawa dampak negatif, misalnya teknologi
nuklir bisa menjadi senjata pemusnah yang seharusnya untuk kesejahteraan
manusia. Oleh karena itu Ilmu pengetahuan Islam perlu direkonstruksi kembali
dengan paradigma baru yaitu bahwa ilmu pengetahuan Islam menggambarkan
terintegrasinya seluruh sistem ilmu pengetahuan dalam satu kerangka. Ilmu
pengetahuan Islam menggunakan pendekatan wahyu, pendekatan filsafat, dan
pendekatan empirik, baik dalam pembahasan substansi ilmu, maupun pembahasan
tentang fungsi dan tujuan ilmu pengetahuan.
Dengan
rekonstruksi ilmu pengetahuan Islam tidak terkait lagi adanya dikotomi antara
ilmu pengetahuan Islam (syari’ah) dengan ilmu pengetahuan umum, keduanya saling
berhubungan secara fungsional (fungsional Corelation).
C. Integrasi Ilmu Pengetahuan ke Islam dengan Umum
Setelah umat
Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang
telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu
pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam
mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang
ilmu tersebut.
Sekularisasi
ilmu pengetahuan dari segi metodologi menggunakan epistemologi rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme berpendapat bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang
obyektif karena dapat melihat realitas dengan konstan. Sedangkan empirisme
memandang bahwa sumber pengetahuan yang absah adalah empiris (pengalaman).
Sekularisasi
ilmu pengetahuan pada aspek aksiologi bahwa ilmu itu bebas nilai atau netral,
nilai-nilai ilmu hanya diberikan oleh manusia pemakainya. Memasukkan nilai ke
dalam ilmu, menurut kaum sekular, menyebabkan ilmu itu memihak, dan dengan
demikian menghilangkan obyektivitasnya.[8]
Kondisi
inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam
mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan
adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “Islamisasi ilmu” bagi
kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen
memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah, apakah akan membungkus
sains Barat dengan label “Islami” atau Islam? Ataukah berupaya keras
menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Al-Quran dan
Hadis, kedalam realitas kesejarahannya secara empiric?. Kedua-duanya sama-sama
sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik
epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah
memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah:
Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan
Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: Islamisasi ilmuan tidak lepas
dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara
sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan
untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide
Islamisasi ilmuan masih
terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan
tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan
cendekiawan muslim.
Tokoh yang
mengusulkan pertama kali upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke
Amerika Serikat, Ismail Raji Al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan
agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman.
Upaya yang
lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi
Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan
perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Qur’an, menjadikan
Al-Qur’an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi.
Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang
terkandung dalam Al-qur’an dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan
lil’alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan
hasil dari objektivikasi ajaran Islam.
Masalah yang
muncul kemudian adalah apakah integrasi / Islamisasi ilmu pengetahuan
keIslaman, dengan ilmu-ilmu umum mungkin dilakukan dengan tetap tegak diatas
prinsip-prinsip tanpa mengacu pada pendekatan teologi normatif.
Moh. Natsir
Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan Islamisasi
ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
1. Dalam
pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral,
melainkan mengandung nilai (value) dan maksud yang luhur. Bila alam dikelola dengan maksud yang
inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. Maksud alam
tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
2. Ilmu
pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas
fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan
akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena
yang diteliti.
3. Dalam
pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar
rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci.
Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga
analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
4. Dalam
pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada
realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi
rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual,
rasional, empiris etik dan empiris transenden.
Azyumardi
Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan
hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama :
Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah
praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim
Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya
pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-Ala Maududi,
pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi,
fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber
kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua :
Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban
modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan
sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898
M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal
al-Din al-Afgani menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga :
Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah
al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada
kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.[9]
Integrasi
yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan usaha memadukan keilmuan umum
dengan Islam tanpa harus menghilangkan keunikan-keunikan antara dua keilmuan
tersebut.
Terdapat
keritikan yang menarik berkaitan dengan integrasi antara ilmu agama dengan
sains:
1. Integrasi
yang hanya cenderung mencocok-cocokkan ayat-ayat Al-qur’an secara dangkal
dengan temuan-temuan ilmiah. Disinilah pentingnya integrasi konstruktif dimana
integrasi yang menghasilkan kontribusi baru yang tak diperoleh bila kedua ilmu
tersebut terpisah. Atau bahkan integrasi diperlukan untuk menghindari dampak
negatif yang mungkin muncul jika keduanya berjalan sendiri-sendiri. Tapi ada
kelemahan dari integrasi, di mana adanya penaklukan, seperti teologi
ditaklukkan oleh sains.[10]
2. Berkaitan
dengan pembagian keilmuan, yaitu qauniyah (Alam) dan qauliyah (Teologis).
Kuntowijoyo mengatakan bahwa ilmu itu bukan hanya qauniyah dan qauliyah tetapi
juga ilmu nafsiyah. Kalau ilmu qauniyah berkenaan dengan hukum alam, ilmu
qauniyah berkenaan dengan hukum Tuhan dan ilmu nafsiyah berkenaan makna, nilai
dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang disebut sebagai humaniora (ilmu-ilmu
kemanusiaan, hermeneutikal).
Amin
Abdullah memandang, integrasi keilmuan mengalami kesulitan, yaitu kesulitan
memadukan studi Islam dan umum yang kadang tidak saling akur karena keduanya
ingin saling mengalahkan. Oleh karena itu, diperlukan usaha interkoneksitas
yang lebih arif dan bijaksana. Interkoneksitas yang dimaksud oleh Amin Abdullah
adalah: Usaha memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan
dijalani manusia. Sehingga setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan
agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat berdiri sendiri.
maka dibutuhkan kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling
koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan.[11]
Pendekatan
integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan sebuah keterhubungan
antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari pendekatan
integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses obyektivikasi
dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang non Islam sebagai sesuatu yang
natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun demikian,
dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya sebagai perbuatan
keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi rahmat bagi semua orang.[12]
Contoh
konkrit dari proses objektivikasi keilmuan Islam adalah Ekonomi Syariah yang
prakteknya dan teori-teorinya berasal dari wahyu Tuhan. Islam menyediakan etika
dalam perilaku ekonomi antara lain; bagi hasil (al-Mudarabah) dan kerja sama
(al-Musyarakah). Di sini Islam mengalami objektivitas dimana etika agama
menjadi ilmu yang bermanfaat bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non
muslim, bahkan arti agama sekalipun. Kedepan, pola kerja keilmuan yang
integralistik dengan basis moralitas keagamaan yang humanistik dituntut dapat
memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti: psikologi, sosiologi,
antropologi, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional,
hukum dan peradilan dan seterusnya.[13]
Perbedaan
pendekatan integrasi-interkoneksi dengan Islamisasi ilmu adalah dalam hal
hubungan antara keilmuan umum dengan keilmuan agama. Kalau menggunakan
pendekatan Islamisasi ilmu, maka terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi
lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum
juga telah memiliki basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,
sambil mencari letak persamaan, baik metode pendekatan (approach) dan metode
berpikir (procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai keilmuan Islam
ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan agama dapat saling bekerja sama tanpa
saling mengalahkan.
Dari uraian
di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu
keIslaman ke dalam ilmu-ilmu umum sebaiknya mengacu kepada perspektif
ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dari perspektif ontologis,
bahwa ilmu itu pada hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari
hasil studi yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang
ayat-ayat Allah SWT. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam
Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini.
Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat tersebut, maka
hasil kajian pemikiran manusia tersebut harus dipahami atau diterima
sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya, dan pengetahuan yang memiliki
kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT.
D. Realisasi Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Pada masa
islamisasi ilmu pengetahuan, sebagaimana dikemukakan Dawam Rahardjo biasanya
terkait dengan nama Ismail Faruqi seorang serjana kelahiran palastinaia
dianggap sebagai pencetus utama gagasan ini. Tapi orang malisya tidak menganggapnya
demikian. Mereka mengatakan bahwa pencetus ide islamisasi pengetahuan itu
adalah seorang serjana ahli budaya melayu berkebangsaan malaisya, Nuqaib
Alatas, adik kandung Husain Alatas. Tapi ide itu “dicuri” oleh Ismail Faruqi.[14]
Terlepas
dari pro kontra gejala menunjukkanbahwa islam sebagai sebuah ide kemasyarakatan,
kebudayaan dan peradaban sebagaimana yang dikemukakan Ismail Faruqi, tampak
makin diteria masyarakat. Integrasi nilai-nilai islam kedalam berbagai aspek
kehidupan tampak makin terus berkembang nila-nilai islam bukan hanya tercermin
dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan, melainkan juga tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan yang lebih luas lagi, yaitu ekonomi, sosial, budaya,
politik, seni, dan sebagainya.
Fenomena
islamisasi pada seluruh aspek kehidupan yang demikian itu, dapat dilihat
sebab-sebabnya sebagai berikut
Pertama, bahwa
kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
diakui telah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia dalam segala bidang:
transportasi, komunikasi, konsmsi, pendidikan dan sebagainya. Nmun
bersamaandengan itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut telah
menimbulkan berbagai dampak negatif berupa timbulnya persaingan dan gaya hidup
yang menghalalkan segala cara, termasuk didalamnya penjajahan terhadap
kedaulatan negara lain.
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan juga terjadi
sebagai respon terhadap ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang berasal dari barat
dengan sifat dan karakternya yang skular, matrealistis danateis. Ilmu
pengetahuan yang demikian boleh diterima dan dandimanfaatkan oleh umat islam
selama ilmu-ilmu tersebut dapat diarahkan kepada ranah yang membawa kepada
kebahagiaan hidup secara lahir dan batin, dunia dan akherat.
Ketiga, islam
sebagai sistem nilai yang telah teruji keahliannya dalam sejrah, mulai
dipertimbangkan kembali untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk
mencerahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Salah satu aspek
kehidupan yang paling besar pengaruhnya dan paling mudah dimasuki paham lain
yang menyesatkan adalah paham ekonomi. Kehidupan ekonomi berpengaruh terhadap
aspek kehidupan sosial, gaya, dan pola kehidupan, lingkungan, pendidikan dan
sebagainya. Namun fakta menunjukkan bahwa kemajuan disektor ekonomi tidak otomatis
membawa kesejahteraan secara merata apabila tidak didasarkan pada nilai-nilai
keadilan yang mendasarinya. Nilai yang mengendalikan kehidupan ekonomi saat ini
adalah nilai kapitalisme yang ditandai oleh praktik monopoli yang mematikan
kelompok masyarakat yang ekonominya lemah.
Berdasarkan
beberapa uraian tersebut diatas, sesunguhnya praktikislamisasi ilmu pengetahuan
hanya salah satu saja. Masyarakat menginginkan agar praktik islamisasi itu
mengajukan seluruh bidang kehiupan umat manusia. Yaitu praktik Islamisasi dalam
bidang ekonomi, politik, hukum, dan seterusnya. Dengan demikian praktik
Islamisasi itu harus meibatkan seluruh pakar dalam berbagai disiplin keahlian.[15]
E. Sains (Ilmu Pengetahuan) dalam perspektif Al-Qur’an.
Menyandingkan
sains modern dengan Al-Qur’an bagi sebagian banyak orang yang belum memahami
Islam secara benar mungkin merupakan sesuatu yang mengherankan. Bagi
kalangan saintis barat yang kebanyakan terpengaruh oleh teori matrealis, agama
yang pada mulanya hanya ditunjukkan kepada teori matrealis,agama yang hanya
ditunjukkankepada Agama Yahudi dan Kristen tak lebih dari sekedar mitologi dan
legenda.[16]
Berikut ini
akan dipaparkan sains dan Al-Qur’an sama atau penulis akan menafsirkan
Al-Qur’an dengan bantuan teori-teori ilmu pengetahuan, yang sesungguhnya sudah
lama dikenal dalam sejarah peradaban islam.
1.
Kosmologi dalam Perspektif al-Qur’an.
a) Teks Ayat
أوَلَمْ يَرَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوا أنَّ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنهُمَا صلى وَخَعَلْنَا
مِنَ المَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍ صلي أَغَلاَ
يُؤمِنُونَ
b)
Terjemah.
“apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumu itu keduanya
dahulu adalah suatu padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dandaripada
kamiair kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga
beriman?”. (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30).
c) Tafsir ‘ilmy.
Ayat diatas
menginformasikan kepada kita bahwa langit dan dulunya adalah satu padu, tapi
kemudain terjadi pemisahan menjadi langit dan bumi. Rataq, perpaduan
beberapa unsur sehingga menjadi kumpulan yang homogen. Sedang fataq, peroses
pemisahan dari suatu kupulanpertama yang unik yang terdiri dari beberapa usur.
Ayat diatas tidak dijelaskan secara rinci tentang bagaimana pemisahan
lanit dan bumi, namun hal tersebut dibenarkan didalam teori ilmiah.
Hasil
observasi ang dilakukan Edwin P, Hubble (1889-1953) menyimpulkan adanya
pemuaian alam semesta. Ekspansi Kosmos merupakan fenomena monumental yang
diuangkapkan sains modern. Dengan bertitik tolak dari teori relativitas ,
ekspansi kosmos mendapat dukungan fisik dalam pemeriksaan spectrum galaksi,
pergeseran sistematikke arah bayangan merah dapat diartikan sebagai fakta bahwa
galaksi itu saling menjauhkan satu sama lain.[17]
BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur’an diturunkan kepada manusia disamping sebagai
pembeda antara yang hak dan yang batil, juga menuntun manusia untuk menuntut
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sejak kredibilitas Gereja sebagai sumber
informasi ilmiah merosot, maka bertumbuh suburlah pendekatan saintifik dalam
ilmu pengetahuan menuju ilmu pengetahuan sekuler. Terjadinya dikotomi ilmu
pengetahuan Islam dengan ilmu-ilmu umum menyebabkan para ilmuan Islam berusaha
melakukan Islamisasi atau integrasi kedua ilmu tersebut, sebab kalau hal ini
tidak dilakukan maka akan membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia.
Respon cendekiawan muslim berkaitan hubungan antara
ilmu pengetahuan Islam dan umum ada 3 tipologi, yaitu: Restorasionis,
Rekonstruksionis, dan Reintegrasi. Penyatuan antara ilmu-ilmu keIslaman dengan
ilmu-ilmu umum lebih condong kepada integrasi-interkoneksitas dan mengacu
kepada perspektif ontologis, Epistemologis dan aksiologis.
DAFTAR
PUSTAKA
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam,
(Jakarta: CRSD Press, 2005).
Nurman
Said, Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), Cet I.
Dr. Abdul Basith Al-jamal, Dr.
Daliya Shiddiq Al-jamal, Ensklopedi Ilmiah dalam Al-Qur’an & Sunnah, (jakarta,
pustaka Al-Kautsar, 2003),cet. 1.
Dr.M.Quraish
shihab, Membumikan Al-Qur’an, (, Bandung: Penerbit Mizan, 1992) Cet I.
Dr. Mehdi golshani, Filsafat
Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung, MMU, 2003), cet 1.
Zainal
Abidin Bagir, Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005).
Prof.DR.M.Amin
Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006).
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,
(Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005).
Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, metodologi Studi Islam, (Jakarta, rajawali pres,
2013),
Drs. Nanang Gojali, M. Ag., Manusia
Pendidikan dan Sains dalam Perspektif Tafsir Hermeneutika, (Jakarta, PT.
Rineka Cipta), cet. 1.
[2]
Nurman Said,
Wahyuddin Halim, Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (Makassar: Alauddin Press, 2005), Cet I; hal. xxxvi
[3]
Dr. Abdul Basith Al-jamal, Dr. Daliya Shiddiq Al-jamal, Ensklopedi Ilmiah
dalam Al-Qur’an & Sunnah, (jakarta, pustaka Al-Kautsar, 2003),cet. 1,
hal. 10
[4]
QS. Al-Alaq [96]: 1-5.
[6]
Dr. Mehdi
golshani, Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung, MMU, 2003), cet 1,
hal. 27.
[7] Ibid, hal. 29.
[9]
Zainal Abidin Bagir, Integrasi
Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, (Bandung:
Mizan, 2005) hal. 206- 211.
[11]
Prof.DR.M.Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi:
Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar,
2006), hal. VII-VIII.
[14]
Prof. Dr. H. Abuddin
Nata, metodologi Studi Islam, (Jakarta, rajawali pres, 2013), hal. 410.
[15]
Ibid, hal 410.
[16]
Drs. Nanang Gojali, M. Ag., Manusia Pendidikan dan Sains dalam Perspektif
Tafsir Hermeneutika, (Jakarta, PT. Rineka Cipta), cet. 1, hal. 100
[17]
Ibid, hal 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar