BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Zakat
secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni zakat fitrah dan zakat
al-maal (harta). Yang pertama dikeluarkan berkaitan dengan ibadah puasa,
diserahkan pada akhir bulan puasa sampai saatnya dilaksanakan ‘idul fitri.
Sementara, zakat al-maal atau
zakat harta sering didefinisikan dengan harta yang dikeluarkan dari sebagian
harta simpanan, hasil usaha pertanian atau peternakanatau hasil usaha jasa
profesi, untuk membersihkan akumulasi harta dari hak orang lain yang terdapat
di dalamnya dan didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Dengan
demikian, zakat harta yang dibersihkan adalah harta yang belum dikonsumsi,
sedangkan zakat fitrah yang dibersihkan adalah jiwa muslim yang mengonsumsi
harta.
Zakat
profesi jika ingin dikelompokkan, masuk ke kelompok kedua, yakni zakat harta.
Hal inidisebabkan karena seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu tidak
lain tujuannya untuk mengumpulkan harta. Hanya saja yang dikategorikan pada
profesi ini adalah semua pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa bergantung
pada orang lain berdasarkan kecerdasan tangan dan otak. Disebut juga dengan
penghasiln profesional.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
Pengertian Profesi dan Zakat Profesi?
2.
Apakah
Dasar Hukum Zakat Profesi?
3.
Bagaimanakah
Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi?
4.
Apakah
Urgensi Pendistribusian Zakat Profesi?
C.
Tujuan
Pembelajaran
1.
Memahami
Pengertian Profesi dan Zakat Profesi.
2.
Memahami
Dasar Hukum Zakat Profesi.
3.
Memahami
Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi.
4.
Memahami
Urgensi Pendistribusian Zakat Profesi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Profesi dan Zakat Profesi
Profesi atau
profession, dalam terminologi Arab dikenal dengan istilah al-mihn. Kalimat ini
merupakan bentuk jama’ dari al-mihnah yang berarti pekerjaan atau pelayanan.
Profesi secara istilah berarti suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan,
keahlian, dan kepintaran. Yusuf al-Qardhawi lebih jelas mengemukakan bahwa profesi adalah pekerjaan
atau usaha yang menghasilkan uang atau kekayaan baik pekerjaan atau usaha itu
dilakukan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, maupun dengan bergantung
kepada orang lain, seperti pemerintah, perusahaan swasta, maupun dengan
perorangan dengan memperoleh upah, gaji, atau honorium. Penghasilan yang
diperoleh dari kerja sendiri itu, merupakan penghasilan proesional murni,
seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, deseiner, advokat, seniman, penjahit,
tenaga pengajar (guru, dosen, dan guru besar), konsultan, dan sejenisnya.
Adapun hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dengan pihak lain
adalah jenis-jenis pekerjaan seperti pegawai, buruh, dan sejenisnya. Hasil
kerja ini meliputi upah dan gaji atau penghasilan-penghasilan tetap lainnya
yang mempunyai nisab.
Secara umum zakat profesi menurut putusan Tarjih Muhammadiyah
adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat
mendatangkan hasil atau uang, relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah,
baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan dalam pemahaman Zamzami
Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat dan diterima dengan
jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.[2]
Zakat profesi ini sering pula dibedakan dengan zakat pencaharian.
Yang dikategorikan sebagai pencaharian adalah pekerjaan yang dikerjakan
seseorang untuk pihak lain, dengan memperoleh upah. Jika diperhatikan, antara
zakat profesi dengan zakat pencaharian sama-sama dilakukan dalam rangka
memperoleh harta (kekayaan), hanya saja yang pertama dilakukan berdasarkan
profesi (keahlian) yang jarang sekali orang lain miliki kemampuan seperti yang
dimiliki oleh orang profesional tersebut. Sementara, pencaharian, umumnya setiap
orang mampu melaksanakannya tanpa memerlukan keahlian khusus[3]
Disamping
itu, terdapat beberapa pengertian lain mengenai istilah zakat profesi. Zakat Profesi adalah zakat yang
dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam:
1.
Profesi yang dihasilkan sendiri
seperti dokter, insinyur, artis, penjahit dan lain sebagainya.
2.
Profesi yang dihasilkan dengan
berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji seperti pegawai
negeri atau swasta, pekerja
perusahaan dan sejenisnya.
B.
Dasar Hukum Zakat Profesi
Dasar
pemikiran dari pembahasan munculnya ijtihad kewajiban zakat profesi adalah
semakin berkembangnya karya-karya profesional yang bersifat menjual pelayanan
jasa kepada masyarakat, dan memperoleh penghasilan yang cukup tinggi dan
menguntungkan, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan petani, hasil
karya jasa profesi tersebut jauh lebih besar daripada hasil usaha petani yang
bekerja sekuat tenaga wajib zakat, dan orang-orang yang profesional dengan
penghasilan lebih tinggi dari petani tidak terkena wajib zakat. Sebagaimana dalam
surat Al-Baqarah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا
كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا
فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah; 267)
Semangat
kajian profesi tersebut muncul ketika melakukan kajin komparatif antara petani
dengan kalangan profesi, yang menghasilkan perbandingan tidak rasional dan
tidak adil, jika hanya petani yang diwajibkan membayar zakat dengan hasil
pertaniannya, (yang itu juga merupakan hasil analisis ijtihad, baik melalui
qiyas maupun istidlal) sementara para pelaku jasa profesional tidak dikenai
kewajibanzakat dari hasil usahanya, juga dengan argumentasi qiyas. Sehingga
dengan semangat keadilan, hasil pemikiran ijtihad yang mewajibkan zakat
penghasilan dari kaum profesional merupakan suatu terobosan yang berarti.
Sementara Yusuf Al-Qardhawi seorang pakar hukum zakat, cenderung melihat
pengenaan para pegawai serta pekerja profesional itu dikeluarkan zakatnya
sebagaimana pada zaman Mu’awiyah serta Umar bin Abdul Azis, niscaya orang-orang
fakir miskin akan sangat terbantu, mereka akan kian sejahtera. Minimal untuk
kepentingan konsumsinya, perbendaharaan zakat juga akan semakin bertambah.
Sebab akan semakin banyak harta dan kekayaan yang menjadi objek zakat, dalam
suatu kebijakan fiskal modern hal ini dinamakan dengan ekstensifikasi zakat
(perluasan objek harta yang menjadi objek zakat).
Sesuai
pemikiran Yusuf Al-Qardhawi tersebut, maka zakat hasil usaha profesi itu
dikeluarkan saat penerimaan gaji, honorarium, atau upah, sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan pada para petani, karena penghasilan tetap para
petani adalah hasi pertaniannya, dan penghasilan para pekerja profesional
adalah hasil kerjanya itu. Oleh sebab itu, pembayaran zakatnya bisa dilakukan
pada saat menerima gaji, atau honorarium tersebut. Dan penghasilan yang sudah
dizakati saat menerima, tidak wajib dizakati lagi diakhir tahu perhitungan. Hal
ini dilakukan sebaga terobosan yang bersifat memudahkan seseorang dalam
berzakat dan tidak menyebabkan orang tersebut menjadi terbebani. Sebab bisa
saja hal ini dapat menjadi beban bagi seseorang apabila zakat dikenakan pada
akhir tahun, dan memungkinkan sudah terpakainya harta tersebut untuk kebutuhan
yang tidak terlalu penting.[4]
C.
Ketentuan-ketentuan
Zakat Profesi
Istilah
zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang
mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qardhawy
menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa
mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di
Indonesia ini.
Nishab dan
besaran zakat diqiyaskan pada zakat yang dikenakan pada perhiasan emas dan
perak, dimana nishabnya adalah 92 gram emas dengan harga emas disesuaikan
dengan harga pasar, dan seperti yang telah dijelaskan bahwa cara
mengkonvenversi nishab sebesar 92 gram dari emas adalah berdasarkan pada harga
pasar. Sementasra besaran zakat yang dikenakan dari gaji profesional yang
didapat adalah sebesar 2,5% dari penghasilan netto yang didapat setelah
dikurangi dengan kebutuhan pokoknya selama satu tahun tersebut.[5]
Dalam
ketentuan zakat profesi terdapat
beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan
zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi) yang dilakukan :
1.
Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu
mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak.
Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan
pokok. Cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00
setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar
zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00
pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
2.
Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi
atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya
sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat
si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00
pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
3.
Jika dianalogikan pada zakat rikaz (harta karun
temuan , maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[6] Cara menghitungnya contoh kasus di atas,
maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau
sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan.
Ada dua cara dalam mengeluarkan zakat :
1.
Menurut Az-Zuhri bahwa seseorang
harus mengeluarkan zakatnya setelah memperoleh penghasilan sebelum di
belanjakan pada bulan wajib zakat tersebut atau zakat dikeluarkan bersamaan
dengan kekayaan yang lain pada bulan zakat jika uang penghasikan tidak ingin
dibelanjakan.
2.
Menurut Makhul bahwa apabila
seseorang mempunyai kekayaan lain selain penghasilan maka ia boleh mengeluarkan
zakatnya pada bulan zakat, sedangkan seseorang yang tidak mempunyai kekayaan
maka zakat di keluarkan pada saat ia memperoleh penghasilan tanpa menunggu
bulan zakat.
Pendapat ini
memberikan keringanan pada orang yang memiliki kekayaan lain dan memberikan
beban berat kepada orang yang tidak mempunyai kekayaan selain penghasilan
tersebut.[7]
Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi ini beberapa ulama berbeda
pendapat sebagai berikut:
- Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
- Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
- Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
D. Urgensi
Pendistribusian Zakat Profesi
Berdasarkan Q.S at-taubah :60
إِنَّمَا
الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Q.S.
At-Taubah (60)
Menurut kesepakatan ulama bahwa fakir miskin adalah kelompok yang paling
berhak menerima zakat, demi meringankan beban hidupnya dan menolong mereka agar
dapat mandiri dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Menurut Abu Hanifah, zakat boleh dipakai untuk satu kelompok dari delapan
kelompok yang berhak. Menurut Imam Malik, zakat boleh di berikan kepada yang
paling membutuhkannya. Sedangkan menurut Ibrahim an Nakha’i, zakat bisa di
salurkan kepada satu kelompok saja jika hanya sedikit, dan dapat disalurkan ke
seluruh kelompok apabila jumlahnya banyak. Zakat secara umum dapat menjadi
sumber dana yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia.
Pemanfaatan pendistribusian zakat profesi dapat bersifat konsumtif maupun
produktif, diantaranya yaitu :
1.
Manfaat zakat konsumtif
Hasil zakat di manfaatkan untuk keperluan- keperluan yang bersifat
konsumtif, seperti untuk menyantuni anak yatim,janda, orang yang sudah lanjut
usia,orang yang cacat fisik atau mentalnya dan sebagainya secara teratur
perbulan misalnya, sampai akhirir hayatnyaatau sampai mereka mampu mandiri
mencukupi kehidupan pokok dirinya.
2.
Manfaat zakat produktif
Hasil zakat bisa digunakan untuk keperluan-keperluan yang bersifat
produktif, seperti pemberian bantuan keuangan berupamodel usaha atau kerja atau
kerja kepada fakir miskin yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha
atau berusaha keras, agar mereka bisa terlepas dari kemiskinan dan ketergantungannya
kepada orang lain dan mampu mandiri.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zakat
profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari
penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya kepada
orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan
seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan
memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya.
Nishab dan
besaran zakat diqiyaskan pada zakat yang dikenakan pada perhiasan emas dan
perak, dimana nishabnya adalah 92 gram emas dengan harga emas disesuaikan
dengan harga pasar, dan seperti yang telah dijelaskan bahwa cara
mengkonvenversi nishab sebesar 92 gram dari emas adalah berdasarkan pada harga
pasar. Sementasra besaran zakat yang dikenakan dari gaji profesional yang
didapat adalah sebesar 2,5% dari penghasilan netto yang didapat setelah
dikurangi dengan kebutuhan pokoknya selama satu tahun tersebut
Daftar Pustaka
Muslihun Muslim. Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia.
Mataram, Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2006.
Amiruddin Inoed, dkk. Anatomi
fiqh Zakat. yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005.
M. Nur Rianto Al Arif. Teori Makroekonomi Islam. Bandung, Alfabeta, 2010.
Didin hafidhuddin. Zakat dalam perekonomian modern. Jakarta,
Gema insani, 2002.
Yusuf Qardawi. Hukum Zakat. Jakarta , PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.
Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah. Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1997.
[1] Muslihun
Muslim, Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia, (Mataram,
Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2006), hal:113
[2] Amiruddin
Inoed, dkk, Anatomi fiqh Zakat, (yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005),
cet: 1 Hlm. 50
[3]
Muslihun
Muslim, Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia..., hal:114
[4] M. Nur Rianto
Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung, Alfabeta, 2010), cet: 1,
hal:223.
[5] Ibid: 222
[7] Yusuf Qardawi,
Hukum Zakat, ( Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2004), cet: 7,
hlm: 484-485
[8] Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah, ( jakarta : PT.
Toko Gunung Agung, 1997), hal: 247-248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar