Sabtu, 14 Mei 2016

zakat profesi dalam pandangan islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Zakat secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni zakat fitrah dan zakat al-maal (harta). Yang pertama dikeluarkan berkaitan dengan ibadah puasa, diserahkan pada akhir bulan puasa sampai saatnya dilaksanakan ‘idul fitri. Sementara, zakat al-maal  atau zakat harta sering didefinisikan dengan harta yang dikeluarkan dari sebagian harta simpanan, hasil usaha pertanian atau peternakanatau hasil usaha jasa profesi, untuk membersihkan akumulasi harta dari hak orang lain yang terdapat di dalamnya dan didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Dengan demikian, zakat harta yang dibersihkan adalah harta yang belum dikonsumsi, sedangkan zakat fitrah yang dibersihkan adalah jiwa muslim yang mengonsumsi harta.
Zakat profesi jika ingin dikelompokkan, masuk ke kelompok kedua, yakni zakat harta. Hal inidisebabkan karena seseorang yang menekuni suatu profesi tertentu tidak lain tujuannya untuk mengumpulkan harta. Hanya saja yang dikategorikan pada profesi ini adalah semua pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa bergantung pada orang lain berdasarkan kecerdasan tangan dan otak. Disebut juga dengan penghasiln profesional.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.        Apakah Pengertian Profesi dan Zakat Profesi?
2.        Apakah Dasar Hukum Zakat Profesi?
3.        Bagaimanakah Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi?
4.        Apakah Urgensi Pendistribusian Zakat Profesi?
C.     Tujuan Pembelajaran
1.        Memahami Pengertian Profesi dan Zakat Profesi.
2.        Memahami Dasar Hukum Zakat Profesi.
3.        Memahami Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi.
4.        Memahami Urgensi Pendistribusian Zakat Profesi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Profesi dan Zakat Profesi
Profesi atau profession, dalam terminologi Arab dikenal dengan istilah al-mihn. Kalimat ini merupakan bentuk jama’ dari al-mihnah yang berarti pekerjaan atau pelayanan. Profesi secara istilah berarti suatu pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, keahlian, dan kepintaran. Yusuf al-Qardhawi lebih jelas  mengemukakan bahwa profesi adalah pekerjaan atau usaha yang menghasilkan uang atau kekayaan baik pekerjaan atau usaha itu dilakukan sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain, maupun dengan bergantung kepada orang lain, seperti pemerintah, perusahaan swasta, maupun dengan perorangan dengan memperoleh upah, gaji, atau honorium. Penghasilan yang diperoleh dari kerja sendiri itu, merupakan penghasilan proesional murni, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, deseiner, advokat, seniman, penjahit, tenaga pengajar (guru, dosen, dan guru besar), konsultan, dan sejenisnya. Adapun hasil yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dengan pihak lain adalah jenis-jenis pekerjaan seperti pegawai, buruh, dan sejenisnya. Hasil kerja ini meliputi upah dan gaji atau penghasilan-penghasilan tetap lainnya yang mempunyai nisab.
Secara umum zakat profesi menurut putusan Tarjih Muhammadiyah adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil atau uang, relatif banyak dengan cara yang halal dan mudah, baik melalui keahlian tertentu maupun tidak. Sedangkan dalam pemahaman Zamzami Ahmad, zakat profesi adalah zakat penghasilan yang didapat dan diterima dengan jalan yang halal dalam bentuk upah, honor ataupun gaji.[2]
Zakat profesi ini sering pula dibedakan dengan zakat pencaharian. Yang dikategorikan sebagai pencaharian adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang untuk pihak lain, dengan memperoleh upah. Jika diperhatikan, antara zakat profesi dengan zakat pencaharian sama-sama dilakukan dalam rangka memperoleh harta (kekayaan), hanya saja yang pertama dilakukan berdasarkan profesi (keahlian) yang jarang sekali orang lain miliki kemampuan seperti yang dimiliki oleh orang profesional tersebut. Sementara, pencaharian, umumnya setiap orang mampu melaksanakannya tanpa memerlukan keahlian khusus[3]
Disamping itu, terdapat beberapa pengertian lain mengenai istilah zakat profesi.  Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam:
1.      Profesi yang dihasilkan sendiri seperti dokter, insinyur, artis, penjahit dan lain sebagainya.
2.      Profesi yang dihasilkan dengan berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji seperti pegawai negeri atau swasta, pekerja perusahaan dan sejenisnya.

B.     Dasar Hukum Zakat Profesi
Dasar pemikiran dari pembahasan munculnya ijtihad kewajiban zakat profesi adalah semakin berkembangnya karya-karya profesional yang bersifat menjual pelayanan jasa kepada masyarakat, dan memperoleh penghasilan yang cukup tinggi dan menguntungkan, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan petani, hasil karya jasa profesi tersebut jauh lebih besar daripada hasil usaha petani yang bekerja sekuat tenaga wajib zakat, dan orang-orang yang profesional dengan penghasilan lebih tinggi dari petani tidak terkena wajib zakat. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah; 267)
Semangat kajian profesi tersebut muncul ketika melakukan kajin komparatif antara petani dengan kalangan profesi, yang menghasilkan perbandingan tidak rasional dan tidak adil, jika hanya petani yang diwajibkan membayar zakat dengan hasil pertaniannya, (yang itu juga merupakan hasil analisis ijtihad, baik melalui qiyas maupun istidlal) sementara para pelaku jasa profesional tidak dikenai kewajibanzakat dari hasil usahanya, juga dengan argumentasi qiyas. Sehingga dengan semangat keadilan, hasil pemikiran ijtihad yang mewajibkan zakat penghasilan dari kaum profesional merupakan suatu terobosan yang berarti. Sementara Yusuf Al-Qardhawi seorang pakar hukum zakat, cenderung melihat pengenaan para pegawai serta pekerja profesional itu dikeluarkan zakatnya sebagaimana pada zaman Mu’awiyah serta Umar bin Abdul Azis, niscaya orang-orang fakir miskin akan sangat terbantu, mereka akan kian sejahtera. Minimal untuk kepentingan konsumsinya, perbendaharaan zakat juga akan semakin bertambah. Sebab akan semakin banyak harta dan kekayaan yang menjadi objek zakat, dalam suatu kebijakan fiskal modern hal ini dinamakan dengan ekstensifikasi zakat (perluasan objek harta yang menjadi objek zakat). 
Sesuai pemikiran Yusuf Al-Qardhawi tersebut, maka zakat hasil usaha profesi itu dikeluarkan saat penerimaan gaji, honorarium, atau upah, sesuai dengan kewajiban yang dibebankan pada para petani, karena penghasilan tetap para petani adalah hasi pertaniannya, dan penghasilan para pekerja profesional adalah hasil kerjanya itu. Oleh sebab itu, pembayaran zakatnya bisa dilakukan pada saat menerima gaji, atau honorarium tersebut. Dan penghasilan yang sudah dizakati saat menerima, tidak wajib dizakati lagi diakhir tahu perhitungan. Hal ini dilakukan sebaga terobosan yang bersifat memudahkan seseorang dalam berzakat dan tidak menyebabkan orang tersebut menjadi terbebani. Sebab bisa saja hal ini dapat menjadi beban bagi seseorang apabila zakat dikenakan pada akhir tahun, dan memungkinkan sudah terpakainya harta tersebut untuk kebutuhan yang tidak terlalu penting.[4]
C.     Ketentuan-ketentuan Zakat Profesi
Istilah zakat profesi adalah baru, sebelumnya tidak pernah ada seorang ulamapun yang mengungkapkan dari dahulu hingga saat ini, kecuali Syaikh Yusuf Qardhawy menuliskan masalah ini dalam kitab Zakat-nya, kemudian di taklid (diikuti tanpa mengkaji kembali kepada nash yang syar'i) oleh para pendukungnya, termasuk di Indonesia ini.
Nishab dan besaran zakat diqiyaskan pada zakat yang dikenakan pada perhiasan emas dan perak, dimana nishabnya adalah 92 gram emas dengan harga emas disesuaikan dengan harga pasar, dan seperti yang telah dijelaskan bahwa cara mengkonvenversi nishab sebesar 92 gram dari emas adalah berdasarkan pada harga pasar. Sementasra besaran zakat yang dikenakan dari gaji profesional yang didapat adalah sebesar 2,5% dari penghasilan netto yang didapat setelah dikurangi dengan kebutuhan pokoknya selama satu tahun tersebut.[5]
Dalam ketentuan zakat profesi terdapat beberapa kemungkinan dalam menentukan nishab, kadar, dan waktu mengeluarkan zakat profesi. Hal ini tergantung pada qiyas (analogi)  yang dilakukan :
1.      Jika dianalogikan pada zakat perdagangan, maka nishab, kadar, dan waktu mengeluarkannya sama dengannya dan sama pula dengan zakat emas dan perak. Nishabnya senilai 85 gram emas, kadar zakatnya 2,5 % dan waktu mengeluarkannya setahun sekali, setelah dikurangi kebutuhan pokok. Cara menghitung misalnya : jika si A berpenghasilan Rp 5.000.000,00 setiap bulan dan kebutuhan pokok perbulannya sebesar Rp 3.000.000,00 maka besar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 % x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 600.000,00 pertahun /Rp 50.000,00 perbulan.
2.      Jika dianalogikan pada zakat pertanian, maka nishabnya senilai 653 kg padi atau gandum, kadar zakatnya sebesar 5 % dan dikeluarkan pada setiap mendapatkan gaji atau penghasilan. Misalnya sebulan sekali. Cara menghitungnya contoh kasus di atas, maka kewajiban zakat si A adalah sebesar 5% x 12 x Rp 2.000.000,00 atau sebesar Rp 1.200.000,00 pertahun / Rp 100.000,00 perbulan.
3.      Jika dianalogikan pada zakat rikaz (harta karun temuan , maka zakatnya sebesar 20 % tanpa ada nishab, dan dikeluarkan pada saat menerimanya.[6] Cara menghitungnya  contoh  kasus di atas, maka si A mempunyai kewajiban berzakat sebesar 20 % x Rp 5.000.000,00 atau sebesar Rp 1.000.000,00 setiap bulan.
Ada dua cara dalam mengeluarkan zakat :
1.      Menurut Az-Zuhri bahwa seseorang harus mengeluarkan zakatnya setelah memperoleh penghasilan sebelum di belanjakan pada bulan wajib zakat tersebut atau zakat dikeluarkan bersamaan dengan kekayaan yang lain pada bulan zakat jika uang penghasikan tidak ingin dibelanjakan.
2.      Menurut Makhul bahwa apabila seseorang mempunyai kekayaan lain selain penghasilan maka ia boleh mengeluarkan zakatnya pada bulan zakat, sedangkan seseorang yang tidak mempunyai kekayaan maka zakat di keluarkan pada saat ia memperoleh penghasilan tanpa menunggu bulan zakat.
Pendapat ini memberikan keringanan pada orang yang memiliki kekayaan lain dan memberikan beban berat kepada orang yang tidak mempunyai kekayaan selain penghasilan tersebut.[7]
Mengenai waktu pengeluaran zakat profesi ini beberapa ulama berbeda pendapat sebagai berikut:  
  1. Pendapat As-Syafi'i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari kekayaan itu didapat
  2. Pendapat Abu Hanifah, Malik dan ulama modern, seperti Muh Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf mensyaratkah haul tetapi terhitung dari awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
  3. Pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan Zakat Pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.
D.    Urgensi Pendistribusian Zakat Profesi
Berdasarkan Q.S at-taubah :60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Q.S. At-Taubah (60)

Menurut kesepakatan ulama bahwa fakir miskin adalah kelompok yang paling berhak menerima zakat, demi meringankan beban hidupnya dan menolong mereka agar dapat mandiri dalam mencukupi kebutuhan hidupnya.
Menurut Abu Hanifah, zakat boleh dipakai untuk satu kelompok dari delapan kelompok yang berhak. Menurut Imam Malik, zakat boleh di berikan kepada yang paling membutuhkannya. Sedangkan menurut Ibrahim an Nakha’i, zakat bisa di salurkan kepada satu kelompok saja jika hanya sedikit, dan dapat disalurkan ke seluruh kelompok apabila jumlahnya banyak. Zakat secara umum dapat menjadi sumber dana yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Pemanfaatan pendistribusian zakat profesi dapat bersifat konsumtif maupun produktif, diantaranya yaitu :
1.      Manfaat zakat konsumtif
Hasil zakat di manfaatkan untuk keperluan- keperluan yang bersifat konsumtif, seperti untuk menyantuni anak yatim,janda, orang yang sudah lanjut usia,orang yang cacat fisik atau mentalnya dan sebagainya secara teratur perbulan misalnya, sampai akhirir hayatnyaatau sampai mereka mampu mandiri mencukupi kehidupan pokok dirinya.

2.      Manfaat zakat produktif
Hasil zakat bisa digunakan untuk keperluan-keperluan yang bersifat produktif, seperti pemberian bantuan keuangan berupamodel usaha atau kerja atau kerja kepada fakir miskin yang mempunyai keterampilan tertentu dan mau berusaha atau berusaha keras, agar mereka bisa terlepas dari kemiskinan dan ketergantungannya kepada orang lain dan mampu mandiri.[8]

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi ( guru, dokter, aparat, dan lain-lain ) atau hasil profesi bila telah sampai pada nisabnya kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak. Dan profesi yang dikerjakan seseorang buat pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak, ataupun kedua-duanya.
Nishab dan besaran zakat diqiyaskan pada zakat yang dikenakan pada perhiasan emas dan perak, dimana nishabnya adalah 92 gram emas dengan harga emas disesuaikan dengan harga pasar, dan seperti yang telah dijelaskan bahwa cara mengkonvenversi nishab sebesar 92 gram dari emas adalah berdasarkan pada harga pasar. Sementasra besaran zakat yang dikenakan dari gaji profesional yang didapat adalah sebesar 2,5% dari penghasilan netto yang didapat setelah dikurangi dengan kebutuhan pokoknya selama satu tahun tersebut
















Daftar Pustaka

Muslihun Muslim. Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia. Mataram, Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2006.
Amiruddin Inoed,  dkk.  Anatomi fiqh Zakat. yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005.
M. Nur Rianto Al Arif.  Teori Makroekonomi Islam.  Bandung, Alfabeta,  2010.
Didin hafidhuddin.  Zakat dalam perekonomian modern.  Jakarta, Gema insani, 2002.
Yusuf Qardawi. Hukum Zakat.  Jakarta ,  PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2004.
Masjfuk Zuhdi.  Masail Fiqhiyah.   Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1997.




[1] Muslihun Muslim, Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia, (Mataram, Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat (LKIM) IAIN Mataram, 2006), hal:113
[2] Amiruddin Inoed, dkk, Anatomi fiqh Zakat, (yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005), cet: 1 Hlm. 50
[3] Muslihun Muslim, Fiqih Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia..., hal:114
[4] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung, Alfabeta, 2010), cet: 1, hal:223.
[5] Ibid: 222
[6] Didin hafidhuddin, Zakat dalam perekonomian modern, (Jakarta, Gema insani, 2002), hal 96-97
[7] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, ( Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2004), cet: 7, hlm: 484-485
[8] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,  ( jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1997), hal: 247-248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar