Sabtu, 14 Mei 2016

berbagai akad dalam jual beli (al-dhaman, al-innah, al-tawarruq, dan al-dayn).

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori dengan operasional perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka seperti itu adalah referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah ternyata pada produk-produk seperti al-Dhaman, al-inah, al-Tawaruq, dan al-Dayn. Pakar-pakar tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika mereka melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi, tidak heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional. Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.
Dalam makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Ba’i al-Dhaman Bi’ Al-Inah, Bai’ Tawarruq dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu aplikasi dalam bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Akad (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)?
2.      Bagaimanakah hukum akad jual beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)?
3.      Berikan contoh pengaplikasian akad jual beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dari Akad (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
Ada berbagai macam akad jual beli yang dimana akad-akad ini acap kali digunakan dalam aplikasinya di perbankan. Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori dengan operasional perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka seperti itu adalah referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah ternyata pada produk-produk seperti al-Dhaman, al-inah, al-Tawaruq, dan al-Dayn. Pakar-pakar tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika mereka melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi, tidak heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional. Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.[1]
al-Dhaman atau dikenal dengan ba’i Bidhaman ‘ajil dekenal juga dengan jual beli tetangguh yaitu menjual sesuatu dengan disegerakan penyerahan barang-barang yang dijual kepada pembeli dan ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya, jual beli ini berbeda dengan ba’i al-salam, yang mana pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan pengantaran barang ditangguhkan.[2]
al-Innah kata ‘innah menurut bahasa berart meminjam/ berutang dikatakan i’tana ar-rojul, yang maksudnya seorang laki-laki membeli sesuatu dengan pembayaran dibelakang/utang atau tidak kontan. Jual beli seperti ini disebut ‘innah karena pembeli suatu barang dagangan dalam tempo tertentu mengambil kompensasi barang itu dengan uang secara kontan. Jual beli ‘Innah secara terminologis adalah menjual suatu benda dengan harga yang lebih dibayarkan belakngan dalam tempo tertentu untu dijual lagi oleh orang yang berutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup utangnya.[3]
al-Tawaruq dalam kamus kata tawarruq diartikan daun. Dalam hal ini artinya adalah memperbanyak harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak uang. Misal, seseorang membeli barang dengan harga 100 dirham, karena ia memerlukan uang, maka barang tersebut dijual kembali dengan harga 90 dirham, jadi tawaruq sejinis ba’i inah. Tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai, sehingg apembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran tunda.[4] Secara umum tawaruq adalah akad jual beli seperti ba’i al-innah (sale and buy back) yang melibatkan tiga pihak, bukan dua pihak seperti kasus ba’i inah. Akad tawaruq digunakan di banyak negara di timur tengah sebagai alat untuk manajmen likuiditas. Tawaruq disebut juga sebagai kredit murabahah.[5]
al-dayn merupakan utang dalam bentuk pembiayaan. Dalam majallah al-ahkam. Bagian ke 185 dijelaskan al-dayn adalah sesuatu dhabit dalam tanggungan, seperti jumlah uang dirham yang berada dalam tanggungan seseorang. Maksudnya adalah kewajiban untuk membyara uang atau sesuatu yang dianggap sama dengan uang. Al-dayn merupaka utang dengan maksud penundaan tanggungan yang muncul dalam suatu kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Jadi, al-dayn adalah harta yang terdapat pada tanggungan orang lain dan ia termasuk pada penundaan tanggung jawab yang menyebabkan pertambahan nilai. Bai’i al Dayn adalah seseorang mempunyai hak mengutip utang yang akan dibayarpada masa yang akan datang, ia juga dapat menjual haknya kepada orang lain dengan harga yang disetujui bersama. Jual beli utang dapat terjadi, baik pada orang yangberutang atau bagi mereka yang tidak berutang melalui jual beli secara tunai.[6] 
B.     Hukum Akad Jual Beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
1.      Hukum al-Dhaman
Pensyariatan ba’i dhaman ‘ajil tidak dijelaskan secara khusus tetapi berpedoman kepada keumman ayat tentang jual beli yang terdapat dalam ayat al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 275 dan ayat 282 yang membicarakan tentang blehnya hukum jual belu secara berutang (ba’i al-muajjal). Dalam Hadits Riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah membeli makanan secara berutang “ dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari Zafar secara tangguh dan baju besinya sebagai jaminan.”
 Kontrak ba’i bidhaman ‘ajil  dibahas secara khusus dalam kitab klasik, seperti jual beli beetangguh yang lain (al-salam). Namun, Ibnu Qudamah menyatakan bahwa jual beli ijma’ jual beli secara bertangguh tidak diharamkan. Dengan demikian, hukum jual beli secara bertangguh adalah boleh. Akan tetapi perbedaan pendapat muncul ketika terdapat penambahan harga pad jual beli yang dilakukan secara bertangguh. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda. “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi” (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa terdapat dua jual beli dalam satu kali transaksi dan hal ini dillarang. [7]
2.      Hukum al-Inah
Para ahli hukum Islam memiliki pandangan berbeda mengenai diperbolehkannya ba’i al-Inah sebagai model pembiayaan (mode of financing). Merekaa yang menolak ‘inah berpendapat bahwa ‘inah  merupakan transaksi yang mengandung riba yang terselubung karena terdapat perbedaan antara harga tunai dengan harga cicilan.
Larangan mengenai ‘inah dilaporkan dalam  suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar , yang mengemukakan bahwa riwayat Atha dari Ibnu Umar ra ia menceritakan.  Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Kalau manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabililllah, pasti Allah akan menurunkun bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka” (HR. Ahmad dalam musnadnya ).
Alasan ba’i Al-‘inah dibolehkan dengan merujuk pendapat mazhab zyafii dan Zahiri. Menurut mazhab syafii dan Zahiri, suatu akad dinilai dari apa yang diungkapkan dalam akad tersebut dan dari niyya (niat) yang merupakan domain Allah untuk menilainya. Mereka mengkritisi hadits yang digunakan oleh mayoritas ahli hukum Islam sebagai dasar argumentasi mereka sebagai al-Hadits yang lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum.[8]
3.      Hukum al-Tawaruq
Dalam jual beli tawarruq ulama berbeda pendapat. Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq hukumnya adalah haram,karena ia merupakan sarana bagi riba mendapatkan keuntunngan yang besar. Menurut Imam Nawawi,dalam kitab raudhoh ath-thalibiin, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara inah dan tawarruq, begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’I tidak ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah, baik secara kontan, penawaran maupun kredit. Untuk jelasnya tabel pendapat ulama tentang tawarruq.
ULAMA
PENDAPAT
ALASAN
Jumhur Ulama
Boleh
Diartikan sebagai Jual beli
Bin Baaz
Boleh
Berbeda dengan bai al-inah dan memudahkan dan memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya
Ibn Uthaimeen
Boleh
Merupakan salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan membeli suatu butir untuk suatu pembayaran angsuran, kemudian menjualnya kepada orang lain
Ibn Taimiyah
Dilarang
Sama dengan bai al-inah. Namun dibolehkan dengan syarat:
·         Bahwa seseorang sedang kekurangan uang,jika tidak kekurangan uang maka tidak di izinkan
·         Bahwa ia tidak memperoleh uang degan cara yang diizinkan,seperti  dengan cara pinjaman
·         Bahwa kontrak tidak meliputi format riba
·         Peminjam tidak menjualnya sampai ia telah menempati tentangnya dan memindahkan kepemilikan nya sebab Nabi melarang penjualan suatu butir sebelum pedagangnya pindah gerak
Abu hanifah
Dilarang
Boleh, jika melibatkan pihak ke tiga (bukan sale and buy back)

Dalam Hukum Islam, tawarruq adalah struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu seorang yang membutuhkan likuiditas. Dalam praktiknya, transaksi tawarruq dapat terjadi ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari transaksi tawarruq:
a.    Seseorang yang membutuhkan likuiditas (uang tunai) membeli produk barang atau komoditi dengan cara kredit dan menjualnya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa diketahui oleh pihak-pihak lain, akan niatnya tersebut di atas.
b.    Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, memohon untuk diberikan pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uangnya, tapi penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai. Lalu mutawarriq tersebut dapat menjual kembali barang tersebut kepada orang lain, dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi transaksi tawarruq ini, dapat diterima dan diizinkan oleh para Ulama tanpa adanya perdebatan.
c.    Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai akibat dari pembayaran yang tertunda, karena cicilan. Formasi ini masih diperdebatkan oleh para pakar hukum ekonomi syariah.
Perbedaan antara Tawarruq dan Inah Pada transaksi bai’ al-inah, seseorang yang membutuhkan dana, membeli barang dengan cara kredit, lalu menjualnya kembali kepada si penjual (pemilik barang) dalam bentuk tunai, yang harganya lebih rendah dari harga kredit. Akar kata inah adalah ayn (barang yang telah dibeli) dapat menemukan jalannya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut kebanyakan ahli hukum Islam, barang yang digunakan adalah sebuah alat untuk melakukan hilah, yakni rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang, seperti riba. Sedang tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana segar atau uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah. Struktur transaksi tawarruq tidak mengindikasikan hilah (melegalkan cara untuk mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya. Dengan demikian, para pakar hukum Islam, berpendapat bahwa tawarruq adalah transaksi yang sah dan dapat di terima.[9]
4.      Hukum al-Dayn
Jual beli hutang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya. sebagian ulama membolehkan jual beli hutang pada pengutang (orang yang berutang). Dengan demikian jual beli hutang dilakukan, baik kepada pengutang atau selain pihak pengutang. Juga dapat dilaksanakan dalam dua hal, baik pembayaran harga secara tunai maupun bertangguh. Ada beberapa pendapat ulam tentang status hukum jual beli tersebut.
a.       Jual beli hutang secara tunai
Mengenai jual beli hutang secara tunai fukaha berpendapat:
     pertama, jual hutang kepada orang yang berutang itu sendiri. Hukum jual beli hutang seperti ini adalah berbeda berdasarkan hutang tetap (mustaqir) dan hutang tidak tetap (ghairu mustaqir) jumhur ulama mengemukakan bahwa jual hutang yang telah milik tetap boleh atau dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran) atau tanpa tukaran atau hibah, ini dikenal dengan istibdal. Akan tetapi jual beli hutang yang tidak tetap dapat diumpamakan seperti bai salam, dimana tidak dibolehkan menjualnya sebelum serah terima, karena bisa jadi terjadi pembatalan kontrak perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.
Kedua, jual beli hutang kepada selain dari orang yang berutang. Jumhur ulama berpendapat jual beli ini tidak dibenarkan. Sementara mazhab Syafi’I menjelaskan boleh hukumnya menjual barang kepada pihak ketigasekiranya hutang tersebut tetap, dan ia jual dengan barang secara tunai. Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas islam dimungkinkan melalui bai ad-dayn sebagai mana berbagai kasus di Malaysia yang didasarkan pada sukuk. Akan tetapi jumhur ulama tidak menerima keadaan ini karena hutang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama.
b.      Jual beli hutang secara tanggguh
Berhubungan dengan hal ini ahli fiqih semangat mengatakan bahwa bai ad-dayn bi al-dayn tidak boleh, baik dijual kepada orang yang berutang, maupun kepada orang lain. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa perkara yang di tunda penyerahannya, disampingayn(benda yang diserahkan) tidak ada pada kekuasaannya, seperti menyerahkan sesuatu dengan sesuatu dalam bentuk tanggungan. Hal ini dapat menimbulkan penipuan dan bahaya besar dalam muamalah. Ibn Rusyd berpendapat bahwa nasi’ah dari hal ini tidak di haruskan menurut ijmak. Baik pada benda itu sendiri maupun pada tanggungan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahamkan bahwa ulama fiqih sepakat untuk tidak membolehkan ad-dayn.
C.    Contoh Pengaplikasian Berbagai Akad Jual Beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
1.      Contoh Pengaplikasian akad al-Dhaman
Pada sistem keuangan Islam kontrak ba’i bidhaman ‘ajil diapliksikan pada pembiayaan perumahan dan sebagainya. Walaupun demikian, jual beli ini baru diperkenalkan dalam sistem keuangan Islam. Dalam prektiknys pihak bank memberi pembiayaan perumahan dan unit kendaraan, dengan menggunakan prinsip ba’i bidhaman ‘ajil misalnya. Pembelian dilakukan secara tertangguh sampai batas waktu yang ditentukan dan dibayar secara angsuran. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan kepada pembeli yang mempunyai keinginan untuk memiliki suatu barang atau benda, sementara ia tidak mampu membayar secara tunai.
Untuk melakukan pembiayaan ba’i bidhaman ‘ajil pada bank Islam ada beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi diantaranya:
1)      Harga jual pada nasabah adalah harga beli barang oleh bank dengan sejumlah tambahan harga (lump sump mark up) yang disetujui oleh pembeli.
2)      Surat tanda bukti kepemilikan dipegang oleh bank sevelum angsuran lunas.
3)      Pembayaran utang dimulai saat peminjam telah mampu memperlihatkan hasil usaha
Aplikasi ba’i bidhaman ‘ajil pada bank Islam (sistem pembiayaan tanpa bunga) disebut juga dengan kredit kepemilikan barang. Melalui cara seperti ini masyarakat dapat membeli keperluan rumah tangga, seperti rumah, kendaraan, dan sebagainya. Adapun pada konvensional dikenakan bunga, ditambahkan dengan harga pokok selama utang belum lunas, barang masih menjadi milik bank dan tidak dipindahtangankan.[10]
2.      Contoh Pengaplikasian akad al-Inah
Praktik jual beli ‘inah adalah jika penjual menjual barang daganganna dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangannya itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang di belinya dengan harga awal.
            Sebagai contoh, si A menjaul komoditas kepada si B dengan harga Rp 150.000.- secara kredit selama sat tahun. Kemudian si A membeli komoditas itu kembali dengan harag Rp 120.000,- dari si B dengan bayaran kontan. Dalam kasus ini, si A adalah pemberi piutang dan si B adalah pengutang. Si A telah mendapat keuntungan Rp 30.000,- dari transaksi tersebut. Bentuk lain ba’i al-inah adalah menjual komoditas secara kontan dan kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi yang harus dibayar pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Dalam hal ini, si pengutang menjual barangnya dengan kontan kepada pemberi piutang. si pengutang kemudian segera membeli kembali barang tersebut dengan harga yang dibayar dimasa yang akan datang. Jadi, transaksi tersebut termasuk transaksi utang dengan juminan barang yang tadi. Perbedaan harga barang tersebut termasuk reprentasi dari bunga (interest). Hal ini disebut ‘inah sebab ‘ayn (substansi) dalam kasus ini kepada pemiliknya. Pembiayaan dengan menggunakan skim pembelian kembali (buy back arrangment, atau bisa disingat BBA) di Bank Syari’ah Malaysia mirip seperti ini.[11]     
3.      Contoh Pengaplikasian akad al-Tawarruq
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgml6qZ6lI7kt-MKcNiXjM4fcZNmZj71UDvm5UkPOMu-GPpgmEIsOzTBxieQSSeyUMMS64o0Uy0EVGebQICgs4DtR3NpyfpA_KT6jMskqvrFBomE5W4XScADmXxoOKr1PQP7IgltO5X69LA/s1600/c.png
Bank (pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/ kredit  kemudian nasabah pembeli pertama menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan pembayaran tunda.
4.      Contoh Pengaplikasian akad al-Dayn
            Nasabah membeli barang kepada pihak Bank, misal mobil seharga Rp.200.000.000 dengan mencicil, dari keterangan tersebut barang yang dibeli belum sepenuhnya milik nasabah, kemudian nasabah menjual barang tersebut ke pihak ke III, dan barang yang dijual tersebutpun pindah tangan ke pihak ke tiga, namun walaupun sudah menjadi milik pihak ke III namun surat surat kendaraan dan buku hitamnya masih menjadi milik pihak Bank. Dari keterangan tersebut nasabah menghibahkan hutang tersebut ke pihak ke III untuk membayar nya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj35LSgFew-v9nbTDAdjFA0RzPTCjG0uOrRQp6QhAjrpGUPjtSz673DoMe8hLHIbQoEHddyLYbg_boFqmEd0hrT2PYOkE_rG0WIWZuRfGDI0ZkTAyrt8lgEW8kd5J1UMoG1yxjjED3sveB5/s1600/d.png




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bai al-inah dan bai al-dayn merupakan dua konsep Syariah yang masih diterapkan dalam perbankan Islam di Negara ini dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Kedua konsep ini dirujuk kepada pandangan mazhab Syafi'i. Kedua konsep ini telah diterimapakai sejak mula pendirian Bank Islam pertama di Indonesia sampai hari ini. Kedua konsep ini meskipun ditolak oleh ulama timur tengah, namun ulama Indonesia memiliki pendirian sendiri dalam memenuhi kebutuhan keuangan Islam pada saat itu. Kini produk yang berbasis bai al-inah masih dilakukan berdasarkan keputusan Dewan Penasihat Syariah Bank Negara Malaysia dan Dewan Penasehat Syariah Komisi Sekuritas.
Konsep al-dayn tidak digunakan oleh bank-bank Islam di Timur Tengah, oleh karena pendapat ulama setempat yang berprinsip bahwa bai’ aldayn adalah jual beli hutang yang tidak diperbolehkan. Dan menurut Ibnu Taimiyah bai’ aldayn itu tidak ada manfaatnya, karena transaksi ini hanya bisa dilakukan dalam dunia maya, dan ini akan menimbulkan keharaman.














DAFTAR PUSTAKA


Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah  Jakarta: Kencana, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
http://abiaqsa.blogspot.co.id/2009/07/produk-kamuflase-dalam-perbankan.html
http://naturaljenni.blogspot.co.id/2014/10/ba-al-inah.html
http://adekurniawan40.blogspot.co.id/2014/11/makalah-bai-tawarruq-kegiatan-usaha.html



[1] http://abiaqsa.blogspot.co.id/2009/07/produk-kamuflase-dalam-perbankan.html
[2] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah  (Jakarta: Kencana, 2012), hal.183. 
[3] Ibid hal.185-186.
[4] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 143.
[5] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah,... hal.189.
[6] Ibid hal.191
[7] Ibid hal.184
[8] http://naturaljenni.blogspot.co.id/2014/10/ba-al-inah.html
[9] http://adekurniawan40.blogspot.co.id/2014/11/makalah-bai-tawarruq-kegiatan-usaha.html
[10] Dr. Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah,... hal.185.

[11] Ibid hal.186.