BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seiring
berkembangnya perbankan syariah, mau tidak mau produk-produk perbankan syariah
pun harus dikembangkan. Pengelolaan Keuangan dan perbankan pada prinsipnya
untuk memenuhi keinginan 3 (tiga) pihak, yaitu pemegang saham,investor dan
pendukung Usaha (pengurus perusahaan) . Sistem keuangan dan perbankan Islam
harus mencakup sleuruh bidang keuangan dan perbankan modern.
Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori dengan operasional
perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka seperti itu adalah
referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah ternyata pada
produk-produk seperti al-Dhaman, al-inah, al-Tawaruq, dan al-Dayn. Pakar-pakar
tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika mereka
melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi, tidak
heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan
konvensional. Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.
Dalam
makalah ini, pemakalah akan mengupas tentang Ba’i al-Dhaman Bi’ Al-Inah, Bai’
Tawarruq dan Bai’ Al-Dayn. Dimana ketiga pembahasan ini merupakan salah satu
aplikasi dalam bentuk produk di dalam Perbankan yang berbasisi syariah.untuk
lebih jelasnya akan dibahas dalam isi makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian Akad (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)?
2.
Bagaimanakah
hukum akad jual beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)?
3.
Berikan
contoh pengaplikasian akad jual beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq,
dan al-Dayn)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dari Akad (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
Ada
berbagai macam akad jual beli yang dimana akad-akad ini acap kali digunakan
dalam aplikasinya di perbankan. Banyak pakar diluar negeri yang sudah apriori
dengan operasional perbankan syariah, salah satu sebab yang membuat mereka
seperti itu adalah referensi mereka terhadap produk-produk bank syariah
ternyata pada produk-produk seperti al-Dhaman, al-inah, al-Tawaruq, dan al-Dayn.
Pakar-pakar tersebut mayoritas memahami disiplin ekonomi dan keuangan, ketika
mereka melihat apa yang menjadi produk bank syariah seperti produk-produk tadi,
tidak heran mereka mengatakan perbankan syariah hakikatnya tidak beda dengan konvensional.
Karena produk-produk itu hakikatnya produk-produk kredit.[1]
al-Dhaman
atau dikenal dengan ba’i Bidhaman ‘ajil dekenal juga dengan
jual beli tetangguh yaitu menjual sesuatu dengan disegerakan penyerahan
barang-barang yang dijual kepada pembeli dan ditangguhkan pembayarannya. Dari
segi bentuknya, jual beli ini berbeda dengan ba’i al-salam, yang mana
pembayaran dilakukan secara tunai, sedangkan pengantaran barang ditangguhkan.[2]
al-Innah
kata ‘innah menurut bahasa berart meminjam/ berutang
dikatakan i’tana ar-rojul, yang maksudnya seorang laki-laki membeli
sesuatu dengan pembayaran dibelakang/utang atau tidak kontan. Jual beli seperti
ini disebut ‘innah karena pembeli suatu barang dagangan dalam tempo
tertentu mengambil kompensasi barang itu dengan uang secara kontan. Jual beli ‘Innah
secara terminologis adalah menjual suatu benda dengan harga yang lebih
dibayarkan belakngan dalam tempo tertentu untu dijual lagi oleh orang yang
berutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup utangnya.[3]
al-Tawaruq
dalam kamus kata tawarruq diartikan daun. Dalam hal ini
artinya adalah memperbanyak harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai
kegiatan memperbanyak uang. Misal, seseorang membeli barang dengan harga 100
dirham, karena ia memerlukan uang, maka barang tersebut dijual kembali dengan
harga 90 dirham, jadi tawaruq sejinis ba’i inah. Tawarruq
adalah bentuk akad jual beli yang melibatkan tiga pihak, ketika pemilik barang
menjual barangnya kepada pembeli pertama dengan harga dan pembayaran tunda, dan
kemudian pembeli pertama menjual kembali barang tersebut kepada pembeli akhir
dengan harga dan pembayaran tunai. Harga tunda lebih tinggi dari harga tunai,
sehingg apembeli pertama seperti mendapatkan pinjaman uang dengan pembayaran
tunda.[4] Secara
umum tawaruq adalah akad jual beli seperti ba’i al-innah (sale and
buy back) yang melibatkan tiga pihak, bukan dua pihak seperti kasus ba’i
inah. Akad tawaruq digunakan di banyak negara di timur tengah sebagai alat
untuk manajmen likuiditas. Tawaruq disebut juga sebagai kredit murabahah.[5]
al-dayn merupakan utang dalam
bentuk pembiayaan. Dalam majallah al-ahkam. Bagian
ke 185 dijelaskan al-dayn adalah sesuatu dhabit dalam tanggungan,
seperti jumlah uang dirham yang berada dalam tanggungan seseorang. Maksudnya
adalah kewajiban untuk membyara uang atau sesuatu yang dianggap sama dengan
uang. Al-dayn merupaka utang dengan maksud penundaan tanggungan yang
muncul dalam suatu kontrak yang melibatkan pertukaran nilai. Jadi, al-dayn adalah
harta yang terdapat pada tanggungan orang lain dan ia termasuk pada penundaan
tanggung jawab yang menyebabkan pertambahan nilai. Bai’i al Dayn adalah
seseorang mempunyai hak mengutip utang yang akan dibayarpada masa yang akan
datang, ia juga dapat menjual haknya kepada orang lain dengan harga yang
disetujui bersama. Jual beli utang dapat terjadi, baik pada orang yangberutang
atau bagi mereka yang tidak berutang melalui jual beli secara tunai.[6]
B.
Hukum Akad Jual Beli (al-Dhaman,
al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
1.
Hukum
al-Dhaman
Pensyariatan
ba’i dhaman ‘ajil tidak dijelaskan secara khusus tetapi berpedoman
kepada keumman ayat tentang jual beli yang terdapat dalam ayat al-Qur’an surat
al-Baqarah/2 ayat 275 dan ayat 282 yang membicarakan tentang blehnya hukum jual
belu secara berutang (ba’i al-muajjal). Dalam Hadits Riwayat Bukhari
dijelaskan bahwa Rasulullah saw pernah membeli makanan secara berutang “ dari
Aisyah r.a., bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari Zafar secara tangguh dan
baju besinya sebagai jaminan.”
Kontrak ba’i bidhaman ‘ajil dibahas secara khusus dalam kitab klasik,
seperti jual beli beetangguh yang lain (al-salam). Namun, Ibnu Qudamah
menyatakan bahwa jual beli ijma’ jual beli secara bertangguh tidak diharamkan.
Dengan demikian, hukum jual beli secara bertangguh adalah boleh. Akan tetapi
perbedaan pendapat muncul ketika terdapat penambahan harga pad jual beli yang
dilakukan secara bertangguh. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda. “Dari
Abu Hurairah, Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu transaksi” (HR.
Tirmidzi)
Berdasarkan
hadits diatas dapat dipahami bahwa terdapat dua jual beli dalam satu kali
transaksi dan hal ini dillarang. [7]
2.
Hukum
al-Inah
Para ahli hukum Islam memiliki pandangan berbeda mengenai diperbolehkannya ba’i
al-Inah sebagai model pembiayaan (mode of financing). Merekaa yang
menolak ‘inah berpendapat bahwa ‘inah merupakan transaksi
yang mengandung riba yang terselubung karena terdapat perbedaan antara harga
tunai dengan harga cicilan.
Larangan
mengenai ‘inah dilaporkan dalam suatu Hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Umar , yang mengemukakan bahwa riwayat Atha dari Ibnu Umar ra ia
menceritakan. Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Kalau
manusia sudah menjadi kikir gara-gara uang (dinar dan dirham), sudah mulai
melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi
sabililllah, pasti Allah akan menurunkun bencana kepada mereka, dan bencana itu
tidak akan dihilangkan sebelum mereka kembali kepada agama mereka” (HR. Ahmad dalam musnadnya ).
Alasan ba’i Al-‘inah dibolehkan dengan merujuk pendapat mazhab zyafii dan
Zahiri. Menurut mazhab syafii dan Zahiri, suatu akad dinilai dari apa yang
diungkapkan dalam akad tersebut dan dari niyya (niat) yang merupakan
domain Allah untuk menilainya. Mereka mengkritisi hadits yang digunakan oleh
mayoritas ahli hukum Islam sebagai dasar argumentasi mereka sebagai al-Hadits
yang lemah, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum.[8]
3.
Hukum al-Tawaruq
Dalam jual
beli tawarruq ulama berbeda pendapat.
Menurut Ibnu Taimiyah, jual beli tawarruq
hukumnya adalah haram,karena ia merupakan sarana bagi riba mendapatkan
keuntunngan yang besar. Menurut Imam Nawawi,dalam kitab raudhoh ath-thalibiin, jual beli tawarruq hukumnya halal karena tidak ada larangan jual beli secara
inah dan tawarruq, begitu juga menurut Ismail ibn Yahya al-Muzni Syafi’I tidak
ada larangan seseorang menjual harta bendanya secara kredit kemudian membelinya
kembali dari si pembeli dengan harga lebih murah, baik secara kontan, penawaran
maupun kredit. Untuk jelasnya tabel pendapat ulama tentang tawarruq.
ULAMA
|
PENDAPAT
|
ALASAN
|
Jumhur
Ulama
|
Boleh
|
Diartikan
sebagai Jual beli
|
Bin Baaz
|
Boleh
|
Berbeda
dengan bai al-inah dan memudahkan dan memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya
|
Ibn
Uthaimeen
|
Boleh
|
Merupakan
salah satu jenis pinjaman yang diperbolehkan dengan membeli suatu butir untuk
suatu pembayaran angsuran, kemudian menjualnya kepada orang lain
|
Ibn
Taimiyah
|
Dilarang
|
Sama
dengan bai al-inah. Namun dibolehkan dengan syarat:
· Bahwa
seseorang sedang kekurangan uang,jika tidak kekurangan uang maka tidak di
izinkan
· Bahwa ia tidak memperoleh uang degan cara yang diizinkan,seperti dengan cara pinjaman
· Bahwa kontrak tidak meliputi format riba
· Peminjam
tidak menjualnya sampai ia telah menempati tentangnya dan memindahkan
kepemilikan nya sebab Nabi melarang penjualan suatu butir sebelum pedagangnya
pindah gerak
|
Abu
hanifah
|
Dilarang
|
Boleh,
jika melibatkan pihak ke tiga (bukan sale and buy back)
|
Dalam Hukum Islam, tawarruq adalah
struktur yang dapat dilakukan oleh seorang mustawriq/mutawarriq yaitu seorang
yang membutuhkan likuiditas. Dalam praktiknya, transaksi tawarruq dapat terjadi
ketika seseorang membeli sebuah produk dengan cara kredit (pembayaran dengan
cicilan) dan menjualnya kembali kepada orang ketiga yang bukan pemilik pertama
produk tersebut dengan cara tunai, dengan harga yang lebih murah. Ada 3 formasi dari transaksi tawarruq:
a.
Seseorang yang membutuhkan likuiditas (uang tunai) membeli produk barang
atau komoditi dengan cara kredit dan
menjualnya kepada pihak lain dengan cara tunai, tanpa diketahui oleh
pihak-pihak lain, akan niatnya tersebut di atas.
b.
Seseorang (mutawarriq) yang membutuhkan uang tunai, memohon untuk diberikan
pinjaman uang, dari penjual, yang menolak untuk meminjamkan uangnya, tapi
penjual tersebut berkeinginan untuk menjual barangnya dengan cara kredit dengan harga tunai. Lalu mutawarriq tersebut dapat
menjual kembali barang tersebut kepada orang lain, dengan harga yang lebih
rendah atau lebih tinggi. Kedua formasi transaksi tawarruq ini, dapat diterima
dan diizinkan oleh para Ulama tanpa adanya perdebatan.
c.
Hampir sama dengan formasi no. 2, kecuali si penjual, menjual barangnya
dengan harga yang lebih mahal dari harga pasar kepada mutawarriq, sebagai
akibat dari pembayaran yang tertunda, karena cicilan. Formasi ini masih
diperdebatkan oleh para pakar hukum ekonomi syariah.
Perbedaan antara Tawarruq dan Inah Pada transaksi bai’ al-inah, seseorang
yang membutuhkan dana, membeli barang dengan cara kredit, lalu menjualnya
kembali kepada si penjual (pemilik barang) dalam bentuk tunai, yang harganya
lebih rendah dari harga kredit. Akar kata inah adalah ayn (barang yang telah
dibeli) dapat menemukan jalannya kembali kepada pemilik asalnya. Menurut
kebanyakan ahli hukum Islam, barang yang digunakan adalah sebuah alat untuk
melakukan hilah, yakni rekayasa untuk menghindar dari hal-hal yang dilarang,
seperti riba. Sedang tawarruq adalah ketika seseorang yang membutuhkan dana
segar atau uang tunai membeli barang dengan cara kredit lalu menjualnya kepada
pihak ketiga dengan cara tunai dengan harga yang lebih rendah. Struktur
transaksi tawarruq tidak mengindikasikan hilah (melegalkan cara untuk
mendapatkan riba), karena barang tersebut tidak kembali pada pemilik asalnya.
Dengan demikian, para pakar hukum Islam, berpendapat bahwa tawarruq adalah
transaksi yang sah dan dapat di terima.[9]
4.
Hukum al-Dayn
Jual beli
hutang merupakan salah satu bentuk perniagaan yang diperdebatkan statusnya. sebagian
ulama membolehkan jual beli hutang pada pengutang (orang yang berutang). Dengan
demikian jual beli hutang dilakukan, baik kepada pengutang atau selain pihak
pengutang. Juga dapat dilaksanakan dalam dua hal, baik pembayaran harga secara
tunai maupun bertangguh. Ada beberapa pendapat ulam tentang status hukum jual
beli tersebut.
a.
Jual beli hutang secara tunai
Mengenai
jual beli hutang secara tunai fukaha berpendapat:
pertama,
jual hutang kepada orang yang berutang itu sendiri. Hukum jual beli hutang
seperti ini adalah berbeda berdasarkan hutang tetap (mustaqir) dan hutang tidak
tetap (ghairu mustaqir) jumhur ulama mengemukakan bahwa jual hutang yang telah
milik tetap boleh atau dapat dihibahkan kepadanya, baik dan tukaran (bayaran)
atau tanpa tukaran atau hibah, ini dikenal dengan istibdal. Akan tetapi jual
beli hutang yang tidak tetap dapat diumpamakan seperti bai salam, dimana tidak
dibolehkan menjualnya sebelum serah terima, karena bisa jadi terjadi pembatalan
kontrak perjanjian sebelum barang yang dipesan diterima.
Kedua, jual beli
hutang kepada selain dari orang yang berutang. Jumhur ulama berpendapat jual
beli ini tidak dibenarkan. Sementara mazhab Syafi’I menjelaskan boleh hukumnya
menjual barang kepada pihak ketigasekiranya hutang tersebut tetap, dan ia jual
dengan barang secara tunai. Perdagangan pasar sekunder untuk sekuritas islam
dimungkinkan melalui bai ad-dayn sebagai mana berbagai kasus di Malaysia yang
didasarkan pada sukuk. Akan tetapi jumhur ulama tidak menerima keadaan ini
karena hutang yang diwakili oleh sukuk didukung oleh aset-aset utama.
b.
Jual beli hutang secara tanggguh
Berhubungan
dengan hal ini ahli fiqih semangat mengatakan bahwa bai ad-dayn bi al-dayn
tidak boleh, baik dijual kepada orang yang berutang, maupun kepada orang lain.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa perkara yang di tunda penyerahannya,
disampingayn(benda yang diserahkan) tidak ada pada kekuasaannya, seperti
menyerahkan sesuatu dengan sesuatu dalam bentuk tanggungan. Hal ini dapat
menimbulkan penipuan dan bahaya besar dalam muamalah. Ibn Rusyd berpendapat
bahwa nasi’ah dari hal ini tidak di haruskan menurut ijmak. Baik pada benda itu
sendiri maupun pada tanggungan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahamkan
bahwa ulama fiqih sepakat untuk tidak membolehkan ad-dayn.
C.
Contoh
Pengaplikasian Berbagai Akad Jual Beli (al-Dhaman, al-Inah, al-Tawarruq, dan al-Dayn)
1.
Contoh
Pengaplikasian akad al-Dhaman
Pada
sistem keuangan Islam kontrak ba’i bidhaman ‘ajil diapliksikan pada
pembiayaan perumahan dan sebagainya. Walaupun demikian, jual beli ini baru
diperkenalkan dalam sistem keuangan Islam. Dalam prektiknys pihak bank memberi
pembiayaan perumahan dan unit kendaraan, dengan menggunakan prinsip ba’i
bidhaman ‘ajil misalnya. Pembelian dilakukan secara tertangguh sampai batas
waktu yang ditentukan dan dibayar secara angsuran. Tujuannya adalah untuk
memberikan kemudahan kepada pembeli yang mempunyai keinginan untuk memiliki
suatu barang atau benda, sementara ia tidak mampu membayar secara tunai.
Untuk
melakukan pembiayaan ba’i bidhaman ‘ajil pada bank Islam ada beberapa
persyaratan yang wajib dipenuhi diantaranya:
1)
Harga
jual pada nasabah adalah harga beli barang oleh bank dengan sejumlah tambahan
harga (lump sump mark up) yang disetujui oleh pembeli.
2)
Surat
tanda bukti kepemilikan dipegang oleh bank sevelum angsuran lunas.
3)
Pembayaran
utang dimulai saat peminjam telah mampu memperlihatkan hasil usaha
Aplikasi
ba’i bidhaman ‘ajil pada bank Islam (sistem pembiayaan tanpa bunga)
disebut juga dengan kredit kepemilikan barang. Melalui cara seperti ini
masyarakat dapat membeli keperluan rumah tangga, seperti rumah, kendaraan, dan
sebagainya. Adapun pada konvensional dikenakan bunga, ditambahkan dengan harga
pokok selama utang belum lunas, barang masih menjadi milik bank dan tidak
dipindahtangankan.[10]
2.
Contoh
Pengaplikasian akad al-Inah
Praktik
jual beli ‘inah adalah jika penjual menjual barang daganganna dengan suatu
harga yang dibayar belakangan dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu
membeli lagi barang dagangannya itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar
harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar
harga yang di belinya dengan harga awal.
Sebagai contoh, si A menjaul
komoditas kepada si B dengan harga Rp 150.000.- secara kredit selama sat tahun.
Kemudian si A membeli komoditas itu kembali dengan harag Rp 120.000,- dari si B
dengan bayaran kontan. Dalam kasus ini, si A adalah pemberi piutang dan si B
adalah pengutang. Si A telah mendapat keuntungan Rp 30.000,- dari transaksi
tersebut. Bentuk lain ba’i al-inah adalah menjual komoditas secara kontan dan
kemudian membelinya kembali dengan harga lebih tinggi yang harus dibayar pada
waktu tertentu di masa yang akan datang. Dalam hal ini, si pengutang menjual
barangnya dengan kontan kepada pemberi piutang. si pengutang kemudian segera
membeli kembali barang tersebut dengan harga yang dibayar dimasa yang akan
datang. Jadi, transaksi tersebut termasuk transaksi utang dengan juminan barang
yang tadi. Perbedaan harga barang tersebut termasuk reprentasi dari bunga
(interest). Hal ini disebut ‘inah sebab ‘ayn (substansi) dalam kasus ini kepada
pemiliknya. Pembiayaan dengan menggunakan skim pembelian kembali (buy back
arrangment, atau bisa disingat BBA) di Bank Syari’ah Malaysia mirip seperti
ini.[11]
3.
Contoh
Pengaplikasian akad al-Tawarruq

Bank
(pemilik barang) menjual barang kepada nasabah dengan harga cicilan/
kredit kemudian nasabah pembeli pertama
menjualnya kembali barang tersebut kepada pihak ke tiga (pembeli ke dua) dengan
harga kontan seharga Rp.250.000, dari hal tersebut pembeli pertama mendapat
uang tunai sebesar Rp.250.000, kemudian nasabah akan membayar kepada bank
secara kredit dengan harga Rp.300.000. Harga tunda lebih tinggi dari pada harga
tunai, sehingga pembeli pertama seperti mendapat pinjaman uang dengan
pembayaran tunda.
4.
Contoh
Pengaplikasian akad al-Dayn
Nasabah membeli barang kepada pihak
Bank, misal mobil seharga Rp.200.000.000 dengan mencicil, dari keterangan
tersebut barang yang dibeli belum sepenuhnya milik nasabah, kemudian nasabah
menjual barang tersebut ke pihak ke III, dan barang yang dijual tersebutpun
pindah tangan ke pihak ke tiga, namun walaupun sudah menjadi milik pihak ke III
namun surat surat kendaraan dan buku hitamnya masih menjadi milik pihak Bank.
Dari keterangan tersebut nasabah menghibahkan hutang tersebut ke pihak ke III
untuk membayar nya.

BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bai al-inah dan bai al-dayn merupakan
dua konsep Syariah yang masih diterapkan dalam perbankan Islam di Negara ini
dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Kedua konsep ini dirujuk kepada
pandangan mazhab Syafi'i. Kedua konsep ini telah diterimapakai sejak mula
pendirian Bank Islam pertama di Indonesia sampai hari ini. Kedua konsep ini
meskipun ditolak oleh ulama timur tengah, namun ulama Indonesia memiliki
pendirian sendiri dalam memenuhi kebutuhan keuangan Islam pada saat itu. Kini
produk yang berbasis bai al-inah masih dilakukan berdasarkan keputusan Dewan
Penasihat Syariah Bank Negara Malaysia dan Dewan Penasehat Syariah Komisi
Sekuritas.
Konsep al-dayn tidak digunakan oleh bank-bank Islam di Timur Tengah, oleh
karena pendapat ulama setempat yang berprinsip bahwa bai’ aldayn adalah jual
beli hutang yang tidak diperbolehkan. Dan menurut Ibnu Taimiyah bai’ aldayn itu
tidak ada manfaatnya, karena transaksi ini hanya bisa dilakukan dalam dunia
maya, dan ini akan menimbulkan keharaman.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Mardani, Fiqih Ekonomi Syari’ah Jakarta:
Kencana, 2012.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011
http://abiaqsa.blogspot.co.id/2009/07/produk-kamuflase-dalam-perbankan.html
http://naturaljenni.blogspot.co.id/2014/10/ba-al-inah.html
http://adekurniawan40.blogspot.co.id/2014/11/makalah-bai-tawarruq-kegiatan-usaha.html
[1]
http://abiaqsa.blogspot.co.id/2009/07/produk-kamuflase-dalam-perbankan.html
[2] Dr. Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah (Jakarta: Kencana,
2012), hal.183.
[3] Ibid hal.185-186.
[4]
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 143.
[5]
Dr. Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah,... hal.189.
[6]
Ibid hal.191
[7] Ibid hal.184
[8] http://naturaljenni.blogspot.co.id/2014/10/ba-al-inah.html
[9]
http://adekurniawan40.blogspot.co.id/2014/11/makalah-bai-tawarruq-kegiatan-usaha.html
[10] Dr. Mardani, Fiqih
Ekonomi Syari’ah,... hal.185.
[11] Ibid hal.186.